Pages
Satu-satunya brand lokal yang
pernah saya coba adalah Advan dan Mito itu pun bikin saya kapok untuk kembali
membeli produk-produk mereka. Sekarang, saya mencoba salah satu brand lokal
bernama Evercoss dengan produk M6. Dari luar smartphone Evercoss M6 ini terlihat
sangat menjanjikan dengan specs yang mumpuni belum lagi, harganya pun hanya 800
ribu saja. Beberapa review di YouTube memang sudah menunjukan kekurangan
Evercoss M6 ini namun, ternyata para reviewer Youtube nggak jeli atau bisa
dibilang asal mereview saja karena, saya menemukan banyak sekali kekurangan
dari Evercoss M6 ini.
OS android 10 bodong.
Betul saudara-saudara Evercoss M6
ini hanyalah sebuah smartphone yang diisi OS android 10 bodong tanpa
kostumisasi apapun! Jadi M6 ini nggak punya banyak setingan layaknya smartphone
android lainnya, cuma OS andoird 10 saja. Saking asalnya evercoss M6 bahkan
nggak punya gallery buat lihat foto dan video cuma menggandalkan google photo
bawaan dari os 10 selain itu music player saja pakai YouTube music loh.
App drawer seting yang bisa kita
temui isinya pelit banget, cuma ada 8 icon pengaturan dan dark mode, bettery
saver, location etc nggak ada sama sekali. Keadaan ini diperparah saat masuk
settings, sumpah masa setingan smartphone ala kadarnya?
Nggak ada kostumisasi dan cuma
asal tempel OS 10 bukan berarti performanya jelek karena, OS 10 ini ternyata
amat stabil dan nggak ada kendala apapun saat mendownload dan membuka aplikasi.
Beberapa aplikasi besar bisa terbuka dengan baik.
Bahkan office tool seperti word dan kalkulator saja sama sekali gak dikasih? Padahal memori cuma 16GB masa kudu download lagi? Tool office seperti itu penting sekali, masa sampai nggak kepikiran buat dimasukin ke OS?
Evercoss M6 ini pun punya nilai lebih baik dari pada Advan karena, cuma ada 2 bloatware bawaan dan sama sekali nggak dikasih iklan. Evercoss m6 ini bener-bener bersih dari iklan, nggak seperti Advan yang disisipi iklan dalam system OS. Jadi makenya adem nggak perlu risih dengan keluar banyak iklan pop up atau smartphone tengah malem tiba-tiba keluar lagu dangdut macem Advan.
Untuk wifi Hotspot Evercoss M6
cuma bisa satu device saja karena, OS 10 mentah banget nggak dikostumisasi
dahulu jadi seadanya saja.
Screenshot Evercoss M6 inipun ala
kadar banget dengan, nempel di opsi tombol power dan lagi-lagi ada bunyi
shutternya.
Lalu UI layar yang nggak ada
kostumisasi jadi nggak bisa fullview selalu ada tiga tombol opsi dibawah, belum
lagi nggak ada quickball.
Waktu konek ke laptop masa opsi
untuk charging atau transfer nggak pop up donk, kudu ke drawer atas buka terus
pencet sendiri.
Kamera Gimmic
Evercoss M6 lumayan bikin kesal
karena ternyata 3 camera di belakang cuma gimmick! Aslinya hanya satu 8 MP saja.
Fitur camera Evercoss M6 ini pun cuma asal tempel saja sebab, user interface seadanya
dan diperparah dengan bunyi shutter yang nggak bisa dimatikan! Betul banget system
camera cuma asal tempel saja!
Hardware
Saya males banget, ngoprek
hardware namun, bisa dipastikan kalau processor yang dipakai adalah SOC unisoc tipe
lama yang nggak pas dengan OS 10 kenapa bisa begitu? Karena Evercoss M6 gampang
sekali panas dan panasnya bukan sekadar mas loh namun, lebih ke overheat. Hal
ini membuktikan processor yang dipakai kurang bisa menghandle OS 10 dengan kata
lain, Evercoss asal tempel saja processor yang penting murah.
Ram 3GB asli bukan abal-abal dan
nggak ada kendala apapun saat bermain games maupun, multitaskin. Hanya saja
antara processor dengan OS nggak stabil dan ujungnya gampang banget overheat.
Walaupun digadang-gadang bisa main pabji sepertinya, nggak banget dengan bugs overheat
ini.
Baterai
Betarai Evercoss M6 ini cuma
3200mAh dan nggak ada fitur fast charging! Untungnya baterai ini kualitasnya
lumayan bagus, nggak cepat habis standarlah seperti Iphone SE. Paling yang
bikin sebal pas ngecas saja, lama banget beud padahal cuma 3200mAh.
Overall
Evercoss M6 ini punya potensi
besar kalau digarap dengan baik bukan, cuma asal tempel OS 10 saja. Evercoss
harusnya kasih sistem UI yang lebih baik sebab, M6 ini mendingan dari pada
produk Advan yang bikin naik pitam dengan bugs iklannya.
Design enak digenggam dan tampilan layar yang HD sumpah enak banget buat nonton, sayang banget produk ini nggak stabil di os dan hardware. Harusnya untuk menyelamatkan produk M6 Evercoss mengeluarkan update firmware untuk membuat lebih stabil dan tampilan UI standar. Dari pada dibiarkan ala kadar seperti ini.
Kalau menurut saya sih lebih nyaman pakai Evercoss M6 dari pada produk Advan dan sampai saat inipun, masih ok saja pakai Evercoss karena nggak ada iklan dan nggak disisipi iklan. Untuk kekurangan Evercoss M6 emang kudu muter otak instal berbagai apps seperti gallery, music player dan procam.
Baca Juga : Review Sampah Jepang Sony Xperia X Compact
Beberapa bulan yang lalu Samsung galaxy note edge docomo saya mengalami banyak masalah, padahal awalnya firmware versi docomo Japan 6.0.1 ini berjalan baik namun, lama kelamaan mulai overheat dan sering restart sendiri, saat baterai sering drop dari 100% cepet banget turun ke 30 % atau 40 bakal langsung mati. Mau nggak mau Samsung galaxy note edge docomo ini harus diroot, biar semua apps docomo bisa dihapus dan kerja sistem android marsmellow jadi lebih ringan. Sayangnya Samsung galaxy note edge docomo nggak bisa dengan mudah diroot loh bahkan, saya sudah datang ke tempat services pun ditolak mentah-mentah, bilang kalau Samsung galaxy note edge docomo nggak bisa diroot.
Akhirnya mau nggak mau kudu usaha sendiri, dari semua penelusuran di mbah google nggak ada satupun yang berhasil buat ngeroot Samsung galaxy note edge docomo ini. Sampai akhirnya saya kepikiran buat ganti firmware saja dan ini pun bukan perkara mudah sebab, Samsung galaxy note edge docomo cuma bisa dengan firmware docomo Japan saja. Berbagai versi firmware sudah saya coba dan gagal untuk diinstal via odin sampai, tanpa sengaja nyoba satu firmware costume asal Vietnam bernama MobileCityV1
Kenapa judulnya cara root sementara saya, nulisnya ganti firmware? Karena firmware MobileCityV1 ini sudah otomatis root saat, diinstal sudah ada superSU dan bisa langsung pindahin aplikasi ke sd card. So far cuma firmware ini saja yang berhasil diinstal sementara firmware versi global manapun nggak bisa, mau Singapore sampai India pun nggak bisa, saya sudah cari firmware buat Indonesia tapi, nggak nemu bahkan di situs Samsung sendiri nggak ada firmware Samsung galaxy note edge buat wilayah Indonesia.
Cara Instal firmware MobileCityV1
Cara gampang kok, sama seperti instal firmware lainnya. Harus punya dulu :
1. USB Samsung driver (cari sendiri di internet)
2. Odin (cari sendiri aja yah)
3. MobileCityV1 firmware (klik di sini)
Selanjutnya :
1. Masuk ke recovery mode dengan menekan vol bawah + power + home
2. Buka Odin dengan run as administrator, pastikan di kolom ID:COM sudah terkoneksi lalu centang kolom AP dan masukan file firmware MobileCityV1 tunggu sampai clear kemudian, klik start dan tunggu sampai di kolom kanan atas muncul tulisan PASS.
3. Setelah berhasil instal firmware MobileCityV1 jangan dulu, nyalakan handphone, harus masuk lagi ke recovery mode lalu, pilih wipe data/ factory reset. Buat hapus seluruh data firmware terdahulu, kalau nggak nanti firmware MobileCityV1 bakal crash.
Kelebihan Firmware MobileCityV1
1. Sudah langsung root
2. Ringan banget
3. Baterai awet
4. Nggak panas
Kekurangan Firmware MobileCityV1
1. Nggak stabil, namanya juga rom costume pasti ada bugnya dan Firmware MobileCityV1 punya bug di beberapa apps, semisal Instagram beberapa kali restart pas mau IG story, terus nggak bisa instal facebook messenger dan Linkeind via google play, jadi harus instal manual pake apk. Untuk apps Trello bagian downloadnya nggak ada.
2. Downgrade ke lollipop, Firmware MobileCityV1 ini nggak berjalan di marsmellow tapi, Cuma lollipop saja, imbasnya adalah tampilan OS yang jadul dan air command yang ketinggalan zaman banget.
3. Widget tanggal dan kota masih bahasa Vietnam
Setelah seminggu pemakaian, lagi-lagi Samsung galaxy note edge docomo ini kembali sering restart? Akhirnya saya balik lagi cari firmware Samsung galaxy note edge docomo dengan versi SC-OG1 dan berhasil menemukan firmware SC01GOMU1CPL2 android 6.0.1 marmellow ini adalah firmware awal docomo, saya lupa apakah ini yang dulu saya instal?
Mau nggak mau saya pun instal kembali firmware SC01GOMU1CPL2 tapi, setelah selesai nggak wipe cache Samsung galaxy note edge docomokarena malas harus instal lagi semua apps. Anehnya, firmware SC01GOMU1CPL2 ini justru enteng banget dan gak bikin panas? Samsung galaxy note edge docomobisa berfungsi normal, padahal dulu pakai firmware docomo panas banget dan bikin drop baterai? Bahkan ada update ke SC01GOMU1CQG3 ini adalah update terakhir untuk Samsung galaxy note 3 pada tahun 2017.
Firmware SC01GOMU1CQG3 sama seperti firmware awal docomo dulu, isinya banyak banget apps docomo yang nggak penting. But somehow yang ini jalan mulus banget dan nggak bikin panas sama baterai drop. Nggak ada kendala berarti sih dengan Firmware SC01GOMU1CQG3 so far berjalan mulus, paling NFC yang ke lock dan sampai saat ini saya nggak tahu passcode osaifu-ketai apps buat jalanan NFC.
Sayangnya saya lupa download dimana? Karena banyak banget web yang disambangin demi dapet firmware yang cocok tapi, kalau kalian searching pastikan cari dengan keyword firmware SC-OG1 SC01GOMU1CPL2 dengan size 3,7GB kalau di RAR jadi sekitar 2GB.
Note :
Firmware samsung galaxy note docomo ini nggak begitu friendly sama jaringan XL karena, kalau siang sinyalnya naik turun dan bikin cepat panas tapi, kalau malam adem banget bahkan sinyal full. Disarankan untuk pakai Telkomsel saja.
Pakai setingan APN XL internet jangan yang setingan APN 4G karena setingan APN XL Internet yang paling stabil buat samsung galaxy note docomo ini.
Ingat samsung galaxy note ini mentok di marmellow yang artinya dari 3GB ram yang tersisa setelah hanya 1,1GB saja makanya, saya instal CC cleaner pro dan 4GB ram memory boster.
Jadi intinya root samsung galaxy note edge docomo ini susah banget, kalau baca dibeberapa web ada yang berhasil pakai Batman ROM tapi, kudu instal TWRP dulu dan itu ribet banget dah.
Baca Juga : Cara Mengatasi Samsung Galaxy Note Edge Docomo Panas dan Drop Baterai
Ada sebuah film dari Prime Video Amazon.com yang menarik perhatian saya karena sekilas premisnya mirip sekali dengan film dari webtoon yakni Terlalu Tampan. Film berjudul Look That Kill ini menceritakan derita seorang remaja bernama Max yang mampu membunuh semua orang dengan wajah tampannya. Sehingga seumur hidupnya Max, harus menutup wajah dengan kain kasa. Dari sini saja sudah jelas terlihat premis yang mirip banget sama Terlalu Tampan, hanya saja Terlalu Tampan cuma bikin pingsan atau mimisan sementara Look That Kill terlalu sadis sampai semua orang yang meliat wajah rupawan Brandon Flynn langsung menemui ajalnya.
Film yang dilabeli dark comedy ini lebih cocok disebut sebagai drama fantasi karena, saya nggak bisa lihat dimana jokenya? Bumbu drama coming age antara Max dan Alex jauh lebih kental. Buat pengemar All The Fault In Our Star mungkin bakal suka dengan Look That Kill sebab, plot ceritanya sama banget bahkan selama 01:30 saya nggak bisa melihat beda film ini dengan All The Fault In Our Star.
Dengan pacing yang super lamban ditambah setingan di kota kecil, Look That Kill terasa seperti film berdurasi 2 jam lebih namun, beruntung plot ceritanya mengalir sekalipun nggak ada penjelasan kenapa muka si Max bisa membunuh semua orang, padahal Brandon Flynn mukanya biasa saja, kalau yang dicast seorang model mungkin masih bisa masuk akal. Sama sekali nggak ada penjelasan dari film Look That Kill tentang apa yang terjadi, termasuk pada saat dimana Alex nggak mati saat melihat wajah Max?
Look That Kill justru bergulat pada keadaan kedua tokoh sentral Max dan Alex, dimana kedua sulit untuk menerima kondisi mereka. Max depresi karena nggak bisa punya teman dan harus perban wajahnya seumur hidup sementara Alex merasa selama hidup dirinya hanya beban saja karena, ia sakit-sakitan dan divonis berumur pendek. Pada akhirnya keduanya saling belajar dari keadaan masing-masing.
Baca Juga : Review Film White Squall Coming Age Berdasarkan Tragedi Kapal Albatross
Alex nggak lagi merasa sebagai beban dan siap menerima kematiannya, sementara Max menerima keadaan dan memanfaatkan wajah tampan nan mautnya untuk menolong orang-orang yang sedang menderita sakit parah, mendapatkan kematian yang tenang. Ia juga menjadi pribadi yang lebih optimis nggak lagi depresi.
Look That Kill punya premis yang bagus namun, sayang cerita terlalu standar dan saya merasa film ini seperti kurang sesuatu, kisah Max dan Alex masih kurang greget serasa banyak yang dicut pada saat editing. Padahal pacing lamban tapi, kerasa durasinya seperti diburu-buru banget. Beruntung acting Brandon Flynn dan Julia Goldani Telles dapet banget, jadi walaupun banyak hal yang nggak kita ngerti tetep bakal enjoy aja sampai akhir. Ujungnya bakalan fokus sama inti cerita mengenai, pergulatan batin Max dan Alex, dari pada kenapa itu muka standar bule bisa membunuh siapapun yang melihat?
Sudah nonton film Vivarium? Kalau sudah pasti ada banyak pertanyaan mengenai film fiction twisted ini. Film Vivarium sendiri merupakan sebuah science fiction psikologi horor, kurang lebih sama dengan The X-files bahkan bisa dijadikan sebagai salah satu episodenya. Film ini buka oleh pasangan Tom dan Gemma yang sedang mencari rumah, lalu menemui sebuah agen pengembang yang rada aneh, singkat cerita dibawalah mereka berdua menuju komplek perumahan yang semua rumahnya sama berwana hijau, lalu mereka pun ditinggalkan di sana. Pasangan ini terjebak dalam labirin perumahan dan nggak bisa lolos sampai akhirnya mereka diberikan petunjuk dalam kardus, untuk membesarkan seorang anak dan setelahnya akan dibebaskan.
Lalu dimulailah perjuangan Tom dan Gemma untuk keluar dari labirin perumahan dan mengetahui siapa dan apa anak yang mereka besarkan ini. Keduanya punya cara yang berbeda dalam menghadapi hal ini, Tom depresi dan larut dalam kegilaannya sendiri sementara Gemma mencoba lebih realistis. Vivarium lebih mengulas efek psikologi terhadap Tom dan Gemma yang desperate untuk bisa keluar, ketimbang misteri apa yang sedang menjebak mereka.
Apa Itu Vivarium?
Komplek perumahan yang semua rumahnya hijau dan bak labirin ini adalah umpang bagi manusia, dimana akhirnya Tom dan Gemma nggak bisa keluar. Jadi Vivarium ada sebuah kandang yang dirancang khusus untuk menjebak dan mengamati mahluk penghuninya. Dalam film ini Vivarium bukan sekadar kandang biasa namun, bisa melibas realitas dan menghentikan waktu.
Siapa The Boy?
The boy atau anak yang harus
dibesarkan oleh Tom dan Gemma ini siapa? The boy adalah seekor anak dari mahluk
hidup yang sudah lama berada di bumi dan hidup berbarengan dengan manusia, the
boy membutuhan bantuan manusia untuk belajar banyak hal, agar bisa bertahan
hidup bersama manusia namun, the boy ketika besar harus keluar rumah untuk
bertemu dengan jenisnya, demi mempelajari keterampilan hidup jenisnya.
Kalau kalian penasaran seperti
apa bentuk asli dari mahluk the boy, coba perhatikan buku merah yang selalu
dibawa the boy. Saat Gemma membukanya, ada gambar fisiologis dari mahluk the
boy. Dasarnya mereka berbentuk seperti manusia namun, dengan leher bisa mengembang
dan dalam keadaan terdesak atau melarikan diri, mereka berlari dengan empat
kaki.
Mahluk the boy tidak bisa mengenali emosi manusia, mampu meniru suara manusia dan berkomunikasi dengan suara seperti katak. Ingat suara katak yang didengar Tom saat menggali? Itu adalah panggilan untuk the boy dari kaumnya.
Karena bisa menciptakan jebakan realitas kemungkinan besar mahluk the boy adalah alien.
Buku dan Film yang di
Tonton The Boy
Gemma dan Tom memang membesarkan
the boy namun, mereka hanya bisa memberikan keterampilan dasar untuk bertahan
hidup diantara manusia. Maka dari itu jenis the boy, memberi pelajaran lewat
tayangan TV yang sekilas terlihat seperti alat hipnotis dan buku merah yang
selalu dibawa adalah buku pelajaran
mahluk the boy.
Makanan yang dimakan Gemma dan
Tom adalah plastik makanya nggak ada rasa sementara, mereka sudah berada dalam
Vivarium selama berminggu-minggu. Lambat laun kesehatan mereka berdua semakin
menurun.
Tom mati karena selama
berhari-hari menggali lumpur tanah liat berwarna kuning bahkan, sampai tidur di
dalam galian tersebut, akibatnya racun dari lumpur tanah liat terhirup . Saat dimandikan
Gemma terlihat lebam di punggung. Tahukah, kalian bahwa Tom sebenar berkelahi
dengan the boy makanya dia mengurung diri di kamar dan nggak keluar karena
nggak berani ketemu.
Sementara Gemma mati karena
kelelahan dan kelaparan, ingat the boy mengunci rumah dan tidak memberi makan
Gemma selama dua atau tiga hari. Semua kekuatan terakhir Gemma digunakan untuk
membunuh the boy.
The boy tumbuh dengan cepat saat, keduanya akhirnya sepakat untuk membunuhnya sudah terlambat karena, the boy sudah besar dan kuat. Makanya Gemma menyesali keputusan menyelamatkan the boy saat Tom hendak membunuhnya ketika kecil.
Ending Scene Gemma
Dalam ending scene ketika Gemma
berusaha mengejar dan membunuh the boy, ia jatuh ke Vivarium lain dimana ada
manusia lain yang terjebak dan dipaksa untuk membesarkan mahluk the boy. Setiap
Vivarium punya warna tersendiri karena, warna itu menjelaskan keadaan psikologi
manusia yang terjebak di dalamnya.
Lalu Gemma kembali ke dalam Vivariumnya? Karena memang nggak ada niatan untuk membebaskan manusia yang sudah masuk ke dalam Vivarium. Yang dimaksud dengan release adalah kematian, jadi andai Gemma dan Tom membesarkan the boy dengan baik, mereka berduapun akan mati ketika the boy sudah besar.
Apa yang sebenarnya
terjadi? Berdasarkan Sutradara Lorcan Finnegan
Kalau kalian jeli, sebenarnya
film Vivarium ini sudah menjelaskan semuanya saat di awal. Ingat opening scene
burung jenis brood yakni, jenis burung yang ogah membesarkan anaknya sendiri
dan akan memilih untuk menaruh telurnya di sarang burung lain dan membiarkan
burung pemilik sarang untuk membesarkan anaknya. Vivarium mengambil prinsip
yang sama, mahluk the boy sudah lama berada bersama manusia dan cara mereka
bertahan hidup adalah, dengan mengambil manusia menjadi parasit orang tua.
Selain itu Vivarium pun, mencoba
menjelaskan realitas impian manusia untuk membeli rumah dan menciptakan pasar
real estate. Akibatnya banyak real estate yang membuat rumah dan menjualnya
dengan harga mahal namun, nggak ada yang sanggup membeli.
Baca Juga : Review Dan Penjelasan Film Annihilation
Baca Juga : Review dan Penjelasan Hereditary Serta Iblis Paimon
Nggak sengaja nemu sebuah film yang terlihat sangat menjanjikan seru, mulai dari distributornya IFC Midnight Film sampai trailernya yang apik banget, kelihatan nggak cheesy. Lebih awesome lagi film Sputnik bukan dari negeri paman sam tapi, dari negeri Vladimir Putin. Sekilas film Sputnik terlihat seperti film Jake Gyllenhaal, berjudul Live tahun 2017 silam. Namun ternyata Sputnik lebih dari sekadar film science fiction standar Hollywood namun, kedodoran di storyline.
Premisnya memang nggak asing, dimana ada kosmonot yang kembali ke bumi namun, dihinggapi oleh parasite alien. Jadi keseluruhan cerita film Sputnik ini Cuma mengulas, bagaimana bisa? Hubungan Antara si kosmonot dan si alien, ditambah bumbu humanisme dimana dokter dan ilmuwan yang diperintahkan militer untuk menyelidiki akhirnya jatuh simpati pada nasib si kosmonot.
Lima belas menit pertama nonton
saya takjub banget, karena cinematografi sama art designya kece abis.
Benar-benar dapet banget buat menggambarkan nuansa hopeless, lonely dan kelam
ala-ala uni soviet tahun 1950an. Semua aktornya punya ekspresi datar,
sepertinya semua orang di Rusia tahun 50an seperti itu yah? Belum lagi saya
nggak terbiasa sama bahasa rusia yang benar-benar datar tanpa intonasi atau
penekanan. Jadi awal-awal film Sputnik ini kerasa hampa tapi, bikin heran
ujungnya bakal penasaran banget.
Sayangnya, setelah satu jam film
Sputnik ini justru anjlok storylinenya. Kita awalnya dikasih pengharapan kalau
film ini bakal punya plot twist atau ending tak terduga, malah berubah jadi
klise banget. Capek-capek build intens triller ujungnya kek film-film science
fiction biasa.
Misteri demi misteri yang terkuak
Cuma berujung sama sebuah ending yang sudah ada di ribuan film lainnya. Kolonel Semiradov yang dari awal bilang mau
bantu misahin parasite alien dari si kosmonot ternyata, punya niat buat
menjadikan kosmonot dan parasite alinenya
sebagai senjata adalah sebuah cerita yang super amat klise! Saya nggak ngerti,
kenapa udah build cerita yang wah tapi, ujungnya meh?
Endingnya mereka sadar kalau, si
kosmonot dan si alien sudah menjadi simbiosis mutualisme dan nggak bisa
dipisahin. Adegan si dokter dan si kosmonot melarikan diri dari pangkalan
militer juga, bikin geleng-geleng kepala. Soalnya tergolong gampang banget dan
saya pikir si kosmonot juga bisa aja keluar sendiri dari dulu, cemana ini film?
Beruntung dosa film Sputnik ini cuma di storyline dengan ending yang jeblok, selebihnya bagus banget. Jarang ada film eropa apa lagi rusia yang punya kualitas seperti Sputnik.
Baca Juga : Brightburn Horor Yang Mengecewakan
Baca Juga : Review Safety Not Guaranteed Film science fiction-romantic comedy
Beberapa tahun lalu saya pernah menulis tentang manusia pasif, tipikal orang yang nggak mau ngapa-ngapain yang hidupnya cuma sekadar berkembang biak saja. Dulu saya tulis manusia pasif di kantor yang ogah melakukan apapun, cuma datang kerja terus pulang.
Pantesan, orang ini kalau ada sesuatu yang nggak beres selalu diam saja. Pura-pura buta dan nggak tahu apapun yang penting bisa pulang dan kantor deket sama rumah, sudah itu saja. Dulu kalau diajak begaul pun sulit, pengennya santai terus pulang ke rumah. Ogah untuk melakukan perubahan, sekalipun itu cuma speak up seperti bilang kalau system ini kurang bagus ataupun rekomen sesuatu.
Terus terang semenjak sadar kalau ada manusia seperti ini, saya sih sudah menjauhi dan bahkan sampai block kontaknya sebab, buat orang seperti saya tipikal manusia pasif cuma bikin kesal saja, bener-bener nggak bring up mood dan low energy. Mending nggak usah deket-deketlah, kebayang kalau punya ide bisnis atau travelling terus ngajak manusia pasif, yang ada mereka malah kasih energi negatif.
Dan jangan pernah jadiin manusia pasif tempat curhat yang ada, malah menjatuhkan secara halus. Mereka bakalan jadi toxic positivity. Misalkan ada system yang nggak beres terus saya bilang, “kenapa nggak diganti begini aja? Lebih simple dan efisien.” Manusia pasif pasti balas, “buat apa? Itukan urusan mereka. Kita mah apa, mereka yang berkuasa kita ikutin aja.” Atau “Hari ini nonton ini terus nongkrong di sini yuk.” Manusia pasif pasti balas, “buat apa sih? Ah…males bla..bla..bla.”
Dalam sepersekian detik manusia pasif bakal menghancurkan mood dan mengubah energi positif ke negatif.
Makanya saya lebih baik menghindari tipikal manusia seperti ini sebab, nggak bakal maju main sama manusia pasif. Mereka lebih suka monotonisme dari pada bergerak ke arah yang lebih baik. Salah satu manusia pasif yang saya kenal, selama bertahun-tahun tetap saja ada di situ. Padahal semua orang sudah resign karena nggak nyaman dengan system yang bobrok, sementara dia malah adem ayem saja aka betah.
Saya nggak bilang kalau manusia
pasif ini jelek karena, semua manusia pasti berbeda-beda, ada yang aktif ada
yang lebih suka santai dan nggak mau ada perubahan dalam hidupnya. Tapi, kalau
sering kali membawa energy negatif dan bad mood, buat apa juga? Makanya, saya
lebih suka menghindari saja.
Setelah membaca Steelheart yang
bikin takjub sekaligus berat, saya memang nggak langsung pindah ke buku kedua
The Reckoner Trilogi : Firefight dan beruntung punya banyak waktu luang dalam
masa WFH ini sampai akhirnya berhasil menamatkan Firefight. Buku setebal 500an
halaman ini memang nggak gampang buat dituntaskan, berbeda dengan buku fiksi
dystopia lainnya The Reckoner Trilogy butuh otak cerdas buat mencerna.
Sinopsis
Firefight dibuka dengan cerita
David setelah berhasil membunuh high epic Steelheart, otomatis dia menjadi
semacam selebritis sekaligus pahlawan di Newcago namun, setelahnya banyak epic
lain yang datang untuk membantai The Reckoners. Untuk menghentikannya, Profesor
membuat rencana membunuh high epic yang memerintahkan epic lain datang ke
Newcago. High epic itu bernama Regalia dan mempunyai kekuatan untuk
memanipulasi air bahkan, mampu untuk menenggelamkan kota Manhattan yang
setelahnya disebut Babilar.
Resensi
Kalau ada yang pernah baca buku terus merasa puas, maka saya sarankan untuk baca Firefight ini. Seri kedua dari The Reckoners Trilogy beneran nggak bisa ditebak, setiap masuk bab baru bakal disuguhi jalinan cerita yang nggak terbayangkan. Parahnya Brandon Sanderson, masukin berbagai sub plot ke dalam Firefight. Jadi saat baca plot utama membunuh Regalia, kita masih disuguhkan berbagai sub plot
seperti:
1.Plot membunuh epic Obliteration,
Newton dan epic lain yang menjaga Babilar.
2.Plot rahasia kota Babilar,
3.Plot hubungan professor dengan
Regalia,
4.Plot kisah cinta David dan
Megan,
5.Plot kelemahan semua epic
sampai rahasia Calamity.
Bayangkan semua itu dimasukan ke
dalam satu buku! Bukan tanpa sebab sih, kenapa banyak banget sub plot yang
dimasukan ke dalam Firefight. Brandon Sanderson sepertinya, nggak mau The
Reckoners Trilogy ini jadi seperti buku dystopia lainnya yang beranak pinak,
cukup trilogy saja. Imbasnya dalam satu buku harus banyak informasi yang
dimasukan, semua informasi ini dijadikan sub plot dalam plot utama. Memang Firefight
jadi nggak membosankan tapi, saya capek bacanya bahkan, sampai harus istirahat
beberapa hari.
Beruntung semua sub plot ini
nyambung ke plot utama bahkan, jadi benang merah atas semua yang terjadi di
dunia The Reckoners. Saya nggak habis pikir gimana caranya, Brandon Sanderson
bisa bikin sub plot di dalam plot utama yang ujungnya nyambung. Belum lagi, mikirin gimana tokoh utama si
David bisa nemuin kelemahan setiap epic yang dilawan, sumpah Firefight ini
cerdas banget.
Kalau masih kurang sama plotnya
yang melimpah, Brandon Sanderson juga masih kasih plot twist di ending. Yang
semula dikira mau membunuh Regalia ternyata, malah membuat epic baru yang ada
saya melongo bacanya. Otak udah nggak bisa mikir ini cerita mau kemana,
jangankan mikirin alur cerita. Mau nebak kelemahan semua epic yang dilawan
David aja susah, ujungnya pas epic itu mati saya harus kembali buka halaman di
belakang biar ngeh kapan si David tahu kelemahan epic itu.
Overall Firefight ini beneran
100% ngandelin kekuatan plotingan jadi, jangan heran pada kata-kata puitis,
kegemaran readers lokal, malahan nggak ada quote yang bisa diambil dari
Firefight dan roman antara David sama Megan pun nggak kerasa romantisnya karena
memang cuma sub plot saja. Buat kamu-kamu yang biasa baca buku lokal best
seller yang isinya, plot cerita remeh temeh cuma modal kata-kata puitis sama
setingan borju pasti mampus otak meleduk baca Firefight.