Pages
Nggak sengaja nemu sebuah film yang terlihat sangat menjanjikan seru, mulai dari distributornya IFC Midnight Film sampai trailernya yang apik banget, kelihatan nggak cheesy. Lebih awesome lagi film Sputnik bukan dari negeri paman sam tapi, dari negeri Vladimir Putin. Sekilas film Sputnik terlihat seperti film Jake Gyllenhaal, berjudul Live tahun 2017 silam. Namun ternyata Sputnik lebih dari sekadar film science fiction standar Hollywood namun, kedodoran di storyline.
Premisnya memang nggak asing, dimana ada kosmonot yang kembali ke bumi namun, dihinggapi oleh parasite alien. Jadi keseluruhan cerita film Sputnik ini Cuma mengulas, bagaimana bisa? Hubungan Antara si kosmonot dan si alien, ditambah bumbu humanisme dimana dokter dan ilmuwan yang diperintahkan militer untuk menyelidiki akhirnya jatuh simpati pada nasib si kosmonot.
Lima belas menit pertama nonton
saya takjub banget, karena cinematografi sama art designya kece abis.
Benar-benar dapet banget buat menggambarkan nuansa hopeless, lonely dan kelam
ala-ala uni soviet tahun 1950an. Semua aktornya punya ekspresi datar,
sepertinya semua orang di Rusia tahun 50an seperti itu yah? Belum lagi saya
nggak terbiasa sama bahasa rusia yang benar-benar datar tanpa intonasi atau
penekanan. Jadi awal-awal film Sputnik ini kerasa hampa tapi, bikin heran
ujungnya bakal penasaran banget.
Sayangnya, setelah satu jam film
Sputnik ini justru anjlok storylinenya. Kita awalnya dikasih pengharapan kalau
film ini bakal punya plot twist atau ending tak terduga, malah berubah jadi
klise banget. Capek-capek build intens triller ujungnya kek film-film science
fiction biasa.
Misteri demi misteri yang terkuak
Cuma berujung sama sebuah ending yang sudah ada di ribuan film lainnya. Kolonel Semiradov yang dari awal bilang mau
bantu misahin parasite alien dari si kosmonot ternyata, punya niat buat
menjadikan kosmonot dan parasite alinenya
sebagai senjata adalah sebuah cerita yang super amat klise! Saya nggak ngerti,
kenapa udah build cerita yang wah tapi, ujungnya meh?
Endingnya mereka sadar kalau, si
kosmonot dan si alien sudah menjadi simbiosis mutualisme dan nggak bisa
dipisahin. Adegan si dokter dan si kosmonot melarikan diri dari pangkalan
militer juga, bikin geleng-geleng kepala. Soalnya tergolong gampang banget dan
saya pikir si kosmonot juga bisa aja keluar sendiri dari dulu, cemana ini film?
Beruntung dosa film Sputnik ini cuma di storyline dengan ending yang jeblok, selebihnya bagus banget. Jarang ada film eropa apa lagi rusia yang punya kualitas seperti Sputnik.
Baca Juga : Brightburn Horor Yang Mengecewakan
Baca Juga : Review Safety Not Guaranteed Film science fiction-romantic comedy
Beberapa tahun lalu saya pernah menulis tentang manusia pasif, tipikal orang yang nggak mau ngapa-ngapain yang hidupnya cuma sekadar berkembang biak saja. Dulu saya tulis manusia pasif di kantor yang ogah melakukan apapun, cuma datang kerja terus pulang.
Pantesan, orang ini kalau ada sesuatu yang nggak beres selalu diam saja. Pura-pura buta dan nggak tahu apapun yang penting bisa pulang dan kantor deket sama rumah, sudah itu saja. Dulu kalau diajak begaul pun sulit, pengennya santai terus pulang ke rumah. Ogah untuk melakukan perubahan, sekalipun itu cuma speak up seperti bilang kalau system ini kurang bagus ataupun rekomen sesuatu.
Terus terang semenjak sadar kalau ada manusia seperti ini, saya sih sudah menjauhi dan bahkan sampai block kontaknya sebab, buat orang seperti saya tipikal manusia pasif cuma bikin kesal saja, bener-bener nggak bring up mood dan low energy. Mending nggak usah deket-deketlah, kebayang kalau punya ide bisnis atau travelling terus ngajak manusia pasif, yang ada mereka malah kasih energi negatif.
Dan jangan pernah jadiin manusia pasif tempat curhat yang ada, malah menjatuhkan secara halus. Mereka bakalan jadi toxic positivity. Misalkan ada system yang nggak beres terus saya bilang, “kenapa nggak diganti begini aja? Lebih simple dan efisien.” Manusia pasif pasti balas, “buat apa? Itukan urusan mereka. Kita mah apa, mereka yang berkuasa kita ikutin aja.” Atau “Hari ini nonton ini terus nongkrong di sini yuk.” Manusia pasif pasti balas, “buat apa sih? Ah…males bla..bla..bla.”
Dalam sepersekian detik manusia pasif bakal menghancurkan mood dan mengubah energi positif ke negatif.
Makanya saya lebih baik menghindari tipikal manusia seperti ini sebab, nggak bakal maju main sama manusia pasif. Mereka lebih suka monotonisme dari pada bergerak ke arah yang lebih baik. Salah satu manusia pasif yang saya kenal, selama bertahun-tahun tetap saja ada di situ. Padahal semua orang sudah resign karena nggak nyaman dengan system yang bobrok, sementara dia malah adem ayem saja aka betah.
Saya nggak bilang kalau manusia
pasif ini jelek karena, semua manusia pasti berbeda-beda, ada yang aktif ada
yang lebih suka santai dan nggak mau ada perubahan dalam hidupnya. Tapi, kalau
sering kali membawa energy negatif dan bad mood, buat apa juga? Makanya, saya
lebih suka menghindari saja.
Setelah membaca Steelheart yang
bikin takjub sekaligus berat, saya memang nggak langsung pindah ke buku kedua
The Reckoner Trilogi : Firefight dan beruntung punya banyak waktu luang dalam
masa WFH ini sampai akhirnya berhasil menamatkan Firefight. Buku setebal 500an
halaman ini memang nggak gampang buat dituntaskan, berbeda dengan buku fiksi
dystopia lainnya The Reckoner Trilogy butuh otak cerdas buat mencerna.
Sinopsis
Firefight dibuka dengan cerita
David setelah berhasil membunuh high epic Steelheart, otomatis dia menjadi
semacam selebritis sekaligus pahlawan di Newcago namun, setelahnya banyak epic
lain yang datang untuk membantai The Reckoners. Untuk menghentikannya, Profesor
membuat rencana membunuh high epic yang memerintahkan epic lain datang ke
Newcago. High epic itu bernama Regalia dan mempunyai kekuatan untuk
memanipulasi air bahkan, mampu untuk menenggelamkan kota Manhattan yang
setelahnya disebut Babilar.
Resensi
Kalau ada yang pernah baca buku terus merasa puas, maka saya sarankan untuk baca Firefight ini. Seri kedua dari The Reckoners Trilogy beneran nggak bisa ditebak, setiap masuk bab baru bakal disuguhi jalinan cerita yang nggak terbayangkan. Parahnya Brandon Sanderson, masukin berbagai sub plot ke dalam Firefight. Jadi saat baca plot utama membunuh Regalia, kita masih disuguhkan berbagai sub plot
seperti:
1.Plot membunuh epic Obliteration,
Newton dan epic lain yang menjaga Babilar.
2.Plot rahasia kota Babilar,
3.Plot hubungan professor dengan
Regalia,
4.Plot kisah cinta David dan
Megan,
5.Plot kelemahan semua epic
sampai rahasia Calamity.
Bayangkan semua itu dimasukan ke
dalam satu buku! Bukan tanpa sebab sih, kenapa banyak banget sub plot yang
dimasukan ke dalam Firefight. Brandon Sanderson sepertinya, nggak mau The
Reckoners Trilogy ini jadi seperti buku dystopia lainnya yang beranak pinak,
cukup trilogy saja. Imbasnya dalam satu buku harus banyak informasi yang
dimasukan, semua informasi ini dijadikan sub plot dalam plot utama. Memang Firefight
jadi nggak membosankan tapi, saya capek bacanya bahkan, sampai harus istirahat
beberapa hari.
Beruntung semua sub plot ini
nyambung ke plot utama bahkan, jadi benang merah atas semua yang terjadi di
dunia The Reckoners. Saya nggak habis pikir gimana caranya, Brandon Sanderson
bisa bikin sub plot di dalam plot utama yang ujungnya nyambung. Belum lagi, mikirin gimana tokoh utama si
David bisa nemuin kelemahan setiap epic yang dilawan, sumpah Firefight ini
cerdas banget.
Kalau masih kurang sama plotnya
yang melimpah, Brandon Sanderson juga masih kasih plot twist di ending. Yang
semula dikira mau membunuh Regalia ternyata, malah membuat epic baru yang ada
saya melongo bacanya. Otak udah nggak bisa mikir ini cerita mau kemana,
jangankan mikirin alur cerita. Mau nebak kelemahan semua epic yang dilawan
David aja susah, ujungnya pas epic itu mati saya harus kembali buka halaman di
belakang biar ngeh kapan si David tahu kelemahan epic itu.
Overall Firefight ini beneran
100% ngandelin kekuatan plotingan jadi, jangan heran pada kata-kata puitis,
kegemaran readers lokal, malahan nggak ada quote yang bisa diambil dari
Firefight dan roman antara David sama Megan pun nggak kerasa romantisnya karena
memang cuma sub plot saja. Buat kamu-kamu yang biasa baca buku lokal best
seller yang isinya, plot cerita remeh temeh cuma modal kata-kata puitis sama
setingan borju pasti mampus otak meleduk baca Firefight.