Facebook Me

download untuk Gramedia digital best romance novel

Review Sputnik : Science Fiction Horror Rusia Dengan Ending Jeblok

Nggak sengaja nemu sebuah film yang terlihat sangat menjanjikan seru, mulai dari distributornya IFC Midnight Film sampai trailernya yang apik banget, kelihatan nggak cheesy. Lebih awesome lagi film Sputnik bukan dari negeri paman sam tapi, dari negeri Vladimir Putin. Sekilas film Sputnik terlihat seperti film Jake Gyllenhaal, berjudul Live tahun 2017 silam. Namun ternyata Sputnik lebih dari sekadar film science fiction standar Hollywood namun, kedodoran di storyline.

Review Film Sputnik

Premisnya memang nggak asing, dimana ada kosmonot yang kembali ke bumi namun, dihinggapi oleh parasite alien.  Jadi keseluruhan cerita film Sputnik ini Cuma mengulas, bagaimana bisa? Hubungan Antara si kosmonot dan si alien, ditambah bumbu humanisme dimana dokter dan ilmuwan yang diperintahkan militer untuk menyelidiki akhirnya jatuh simpati pada nasib si kosmonot.

Lima belas menit pertama nonton saya takjub banget, karena cinematografi sama art designya kece abis. Benar-benar dapet banget buat menggambarkan nuansa hopeless, lonely dan kelam ala-ala uni soviet tahun 1950an. Semua aktornya punya ekspresi datar, sepertinya semua orang di Rusia tahun 50an seperti itu yah? Belum lagi saya nggak terbiasa sama bahasa rusia yang benar-benar datar tanpa intonasi atau penekanan. Jadi awal-awal film Sputnik ini kerasa hampa tapi, bikin heran ujungnya bakal penasaran banget.

Sayangnya, setelah satu jam film Sputnik ini justru anjlok storylinenya. Kita awalnya dikasih pengharapan kalau film ini bakal punya plot twist atau ending tak terduga, malah berubah jadi klise banget. Capek-capek build intens triller ujungnya kek film-film science fiction biasa.

Misteri demi misteri yang terkuak Cuma berujung sama sebuah ending yang sudah ada di ribuan film lainnya.  Kolonel Semiradov yang dari awal bilang mau bantu misahin parasite alien dari si kosmonot ternyata, punya niat buat menjadikan  kosmonot dan parasite alinenya sebagai senjata adalah sebuah cerita yang super amat klise! Saya nggak ngerti, kenapa udah build cerita yang wah tapi, ujungnya meh?

Endingnya mereka sadar kalau, si kosmonot dan si alien sudah menjadi simbiosis mutualisme dan nggak bisa dipisahin. Adegan si dokter dan si kosmonot melarikan diri dari pangkalan militer juga, bikin geleng-geleng kepala. Soalnya tergolong gampang banget dan saya pikir si kosmonot juga bisa aja keluar sendiri dari dulu, cemana ini film?

review film sputnik

Beruntung dosa film Sputnik ini cuma di storyline dengan ending yang jeblok, selebihnya bagus banget. Jarang ada film eropa apa lagi rusia yang punya kualitas seperti Sputnik.

Baca Juga : Brightburn Horor Yang Mengecewakan

Baca Juga : Review Safety Not Guaranteed Film science fiction-romantic comedy

Related Post

Bagaimana Manusia Pasif Menghancurkan Energi Kalian

Beberapa tahun lalu saya pernah menulis tentang manusia pasif, tipikal orang yang nggak mau ngapa-ngapain yang hidupnya cuma sekadar berkembang biak saja.  Dulu saya tulis manusia pasif di kantor yang ogah melakukan apapun, cuma datang kerja terus pulang.

Sekarang saya ketemu lagi sama tipikal manusia pasif ini, sialnya terlalu lamban saya untuk ngeh kalau orang ini manusia pasif karena awalnya cuma ngira kalau orang ini beda selera saja, sampai pada sebuah obrolan barulah saya ngeh “lah ini sih manusia pasif.”

Pantesan, orang ini kalau ada sesuatu yang nggak beres selalu diam saja. Pura-pura buta dan nggak tahu apapun yang penting bisa pulang dan kantor deket sama rumah, sudah itu saja. Dulu kalau diajak begaul pun sulit, pengennya santai terus pulang ke rumah.  Ogah untuk melakukan perubahan, sekalipun itu cuma speak up seperti bilang kalau system ini kurang bagus ataupun rekomen sesuatu.

Terus terang semenjak sadar kalau ada manusia seperti ini, saya sih sudah menjauhi dan bahkan sampai block kontaknya sebab, buat orang seperti saya tipikal manusia pasif cuma bikin kesal saja, bener-bener nggak bring up mood dan low energy. Mending nggak usah deket-deketlah, kebayang kalau punya ide bisnis atau travelling terus ngajak manusia pasif, yang ada mereka malah kasih energi negatif.

Dan jangan pernah jadiin manusia pasif tempat curhat yang ada, malah menjatuhkan secara halus. Mereka bakalan jadi toxic positivity. Misalkan ada system yang nggak beres terus saya bilang, “kenapa nggak diganti begini aja? Lebih simple dan efisien.” Manusia pasif pasti balas, “buat apa? Itukan urusan mereka. Kita mah apa, mereka yang berkuasa kita ikutin aja.” Atau “Hari ini nonton ini terus nongkrong di sini yuk.” Manusia pasif pasti balas, “buat apa sih? Ah…males bla..bla..bla.”

Dalam sepersekian detik manusia pasif bakal menghancurkan mood dan mengubah energi positif ke negatif.

Makanya saya lebih baik menghindari tipikal manusia seperti ini sebab, nggak bakal maju main sama manusia pasif. Mereka lebih suka monotonisme dari pada bergerak ke arah yang lebih baik. Salah satu manusia pasif yang saya kenal, selama bertahun-tahun tetap saja ada di situ. Padahal semua orang sudah resign karena nggak nyaman dengan system yang bobrok, sementara dia malah adem ayem saja aka betah.   

Coba kalian perhatian ada nggak manusia pasif di kantor bahan dalam inner circle kalian? Jangan sampai mood dan energy kamu drop karena bergaul dengan manusia pasif, berapa banyak ide dan kesempatan yang dijatuhkan oleh manusia pasif, makanya carilah teman dengan satu frekuensi energi yang sama. Lebih parah kalau kalian dapet pasangan manusia pasif, yassalam dah setiap hari energi kalian dimatikan dengan kata-kata, “buat apa sih?” atau “ah malas” dan “ah ribet, nggak usah dah!”

Saya nggak bilang kalau manusia pasif ini jelek karena, semua manusia pasti berbeda-beda, ada yang aktif ada yang lebih suka santai dan nggak mau ada perubahan dalam hidupnya. Tapi, kalau sering kali membawa energy negatif dan bad mood, buat apa juga? Makanya, saya lebih suka menghindari saja.

Baca Juga : Apa Itu Manusia Pasif
Related Post

Resensi Firefight : The Reckoners Trilogy Sekuel Dengan Sub Plot Dalam Plot Utama?

Setelah membaca Steelheart yang bikin takjub sekaligus berat, saya memang nggak langsung pindah ke buku kedua The Reckoner Trilogi : Firefight dan beruntung punya banyak waktu luang dalam masa WFH ini sampai akhirnya berhasil menamatkan Firefight. Buku setebal 500an halaman ini memang nggak gampang buat dituntaskan, berbeda dengan buku fiksi dystopia lainnya The Reckoner Trilogy butuh otak cerdas buat mencerna.

Resensi Firefight : The Reckoners Trilogy

Sinopsis

Firefight dibuka dengan cerita David setelah berhasil membunuh high epic Steelheart, otomatis dia menjadi semacam selebritis sekaligus pahlawan di Newcago namun, setelahnya banyak epic lain yang datang untuk membantai The Reckoners. Untuk menghentikannya, Profesor membuat rencana membunuh high epic yang memerintahkan epic lain datang ke Newcago. High epic itu bernama Regalia dan mempunyai kekuatan untuk memanipulasi air bahkan, mampu untuk menenggelamkan kota Manhattan yang setelahnya disebut Babilar.

Resensi

Kalau ada yang pernah baca buku terus merasa puas, maka saya sarankan untuk baca Firefight ini. Seri kedua  dari The Reckoners Trilogy beneran nggak bisa ditebak, setiap masuk bab baru bakal disuguhi jalinan cerita yang nggak terbayangkan. Parahnya Brandon Sanderson, masukin berbagai sub plot ke dalam Firefight. Jadi saat baca plot utama  membunuh Regalia, kita masih disuguhkan berbagai sub plot

 seperti:

1.Plot membunuh epic Obliteration, Newton dan epic lain yang menjaga Babilar.

2.Plot rahasia kota Babilar,

3.Plot hubungan professor dengan Regalia,

4.Plot kisah cinta David dan Megan,

5.Plot kelemahan semua epic sampai rahasia Calamity.

Bayangkan semua itu dimasukan ke dalam satu buku! Bukan tanpa sebab sih, kenapa banyak banget sub plot yang dimasukan ke dalam Firefight. Brandon Sanderson sepertinya, nggak mau The Reckoners Trilogy ini jadi seperti buku dystopia lainnya yang beranak pinak, cukup trilogy saja. Imbasnya dalam satu buku harus banyak informasi yang dimasukan, semua informasi ini dijadikan sub plot dalam plot utama. Memang Firefight jadi nggak membosankan tapi, saya capek bacanya bahkan, sampai harus istirahat beberapa hari.

Beruntung semua sub plot ini nyambung ke plot utama bahkan, jadi benang merah atas semua yang terjadi di dunia The Reckoners. Saya nggak habis pikir gimana caranya, Brandon Sanderson bisa bikin sub plot di dalam plot utama yang ujungnya nyambung.  Belum lagi, mikirin gimana tokoh utama si David bisa nemuin kelemahan setiap epic yang dilawan, sumpah Firefight ini cerdas banget.

Kalau masih kurang sama plotnya yang melimpah, Brandon Sanderson juga masih kasih plot twist di ending. Yang semula dikira mau membunuh Regalia ternyata, malah membuat epic baru yang ada saya melongo bacanya. Otak udah nggak bisa mikir ini cerita mau kemana, jangankan mikirin alur cerita. Mau nebak kelemahan semua epic yang dilawan David aja susah, ujungnya pas epic itu mati saya harus kembali buka halaman di belakang biar ngeh kapan si David tahu kelemahan epic itu.     

Overall Firefight ini beneran 100% ngandelin kekuatan plotingan jadi, jangan heran pada kata-kata puitis, kegemaran readers lokal, malahan nggak ada quote yang bisa diambil dari Firefight dan roman antara David sama Megan pun nggak kerasa romantisnya karena memang cuma sub plot saja. Buat kamu-kamu yang biasa baca buku lokal best seller yang isinya, plot cerita remeh temeh cuma modal kata-kata puitis sama setingan borju pasti mampus otak meleduk baca Firefight.



Baca Juga : Resensi Steel Heart : The Reckoners Trilogy
Related Post

Blog Archive

VIVA ID

Popular Artikel

Total Pageviews

Ini Baru Loh

Dari mana Energi Negatif di Rumah Kamu Berasal?

  Disclaimer Kali ini saya mau bikin rangkaian artikel tentang energi negatif di rumah sebab, punya pengalaman tentang hal ini dan ini ada...

Powered by Blogger.

.

.

Search This Blog

Protected by Copyscape Online Plagiarism Scanner

Subscribe Us

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

About

Newsletter

If you like articles on this blog, please subscribe for free via email.

Subscribe Us

Facebook