Resensi A Love At First Sight, Kok Mirip Critical Eleven?

Resensi A Love At First Sight, Kok Mirip Critical Eleven?

Awalnya nggak sengaja nemu novel a love at first sight ini dan coba-coba baca beberapa halaman pertama, sebenarnya sih saya bukan pecinta novel romance tapi baru baca beberapa halaman a love at first sight langsung terbesit sebuah novel romance lokal mega best seller dengan judul critical eleven. lah kok bisa? Karena di critical eleven premis adalah dua sejoli yang bertemu dalam rute Sidney-Jakarta dan dalam sebelas menit pertama perbincangan, mereka merasa sudah menemukan the one! Sementara dalam a love at first sight butuh 11 jam mulai dari bandara connecticut, Amerika ke London, Inggris sebelum akhirnya kedua tokoh merasa menemukan the one.

Sinopsis
Cerita bermula saat Hadley ketinggalan pesawat dan harus menunggu sejam untuk pesawat berikutnya, selama menunggu di bandara Hadley tanpa sengaja bertemu dengan seorang cowok Inggris bernama Oliver. Siapa diduga Oliver justru tertarik pada Hadley dan membantunya membawa koper sampai akhirnya mereka berdua menghabiskan satu jam di bandara bersama. Ternyata Oliver pun mempunyai tujuan yang sama yakni Inggris, hanya ia menuju kampung halamannya Paddington sementara Hadley menuju London.
Selama sembilan jam perjalanan dari Amerika menuju London kedua terlibat berbagai percakapan yang kikuk sekaligus menarik. Sikap Hadley terbuka dan menceritakan alasannya yang menyebalkan untuk terbang ke London, yakni pernikahan kedua ayahnya, sementara Oliver cenderung misterius dan memberikan teka-teki mengenai dirinya dan alasan pulang ke Paddington. Setelah sampai di bandara London, Oliver nekad memberikan Hadley ciuman.

Hadley yang harus bersikap normal di pernikahan kedua ayahnya pun merasa bimbang karena ciuman Oliver, sampai akhirnya ia nekad untuk pergi dari resepsi hanya untuk mengejar Oliver di Paddington. Setelah menjadi tamu tak diundang di pemakaman ayah Oliver, dengan hati berat Hadley harus menerima bahwa dirinya sama sekali tak diminta untuk tinggal dan ia menyesali keputusan untuk mengejar Oliver. Sebelum kembali pulang ke London, Hadley menaruh sebuah buku karya Dicken di mobil Oliver. Buku tersebut menjadi pembuka percakapan mengenai keluarga mereka  di pesawat beberapa belas jam lalu.

Resensi
Kalau di critical eleven sebenarnya antara judul dan isi, sama sekali nggak nyambung karena cerita di pesawat cuma seiprit saja. Sementara di a love at first sight setengah dari buku merupakan cerita dari bandara sampai pesawat selama sepuluh jam. Critical eleven adalah judul yang lebih tepat untuk novel karangan Jennifer E. Smith dari pada novel karangan Ika Natassa, bahkan cover pesawat nampak lebih cocok untuk buku Jennifer E. Smith dari pada jam Big ben.

Pacing  a love at first sight pun cepat banget, jadi nggak terasa menjemukan. Salah satu lagi yang menjadi a love at first sight sebagai killer bagi critical eleven adalah plotingan cerita yang sama, yakni plotingan maju-mundur. Kalau di critical eleven maju-mundur menceritakan pengalaman pacaran sampai lamaran, maka di a love at first sight menceritakan masa lalu Hadley ketika keluarganya masih utuh, sampai dengan ketika ayahnya pergi ke Inggris dan selingkuh. 

Soal konflik pun masih jauh lebih baik a love at first sight ketimbang critical eleven. A love at first sight menjadikan cerita coming age, yakni Hadley sebagai remaja tujuh belas tahun yang dilanda amarah karena ayahnya menikah kembali, sementara critical eleven konflik baru muncul ketika Anya kehilangan bayinya dan menurut saya sebagai orang dewasa dengan profesi risk management, harusnya Anya bisa dengan mudah mengatasi hal tersebut., bukan malah pengen lari dari kenyataan ataupun cerai.

Ending a love at first sight pun manis dan ciamik dimana Hadley berubah menjadi lebih dewasa dalam memandang berbagai hal yang membuatnya marah, termasuk memaafkan sang ayah dan mencoba mengerti keadaan, belum lagi kejutan manis dimana akhirnya Oliver datang untuk mengembalikan buku yang ditinggalkan Hadley. Sementara dalam critical eleven, Anya akhirnya harus menerima keadaan bahwa bayinya sudah tiada. (Premisnya sama booo)

Cover dan judul asli lebih bagus dari pada versi penerbit mizan ini.
Ada satu hal yang lumayan mengusik saya, yakni dengan begitu banyak kemiripan plotingan dan premis, apakah critical eleven terinspirasi dari novel dengan judul asli The Statistical Probability of Love at First Sight karya Jennifer E. Smith? Karena buku ini pertama kali keluar tahun 2012 sementara critical eleven 2015. Kalau begitu lebih baik anda bandingkan sendiri dan jawab dengan jujur.




Reactions

Post a Comment

0 Comments