Pages
Showing posts with label Review Buku. Show all posts
Showing posts with label Review Buku. Show all posts
Buku kedua dari Under The Never Sky trilogy ini akhirnya bisa juga terselesaikan dan jadi buku pertama di tahun 2020 yang saya review. Menyelesaikan Trough The Ever Night lumayan lama karena Trough The Ever Night termasuk buku yang membosankan menurut saya, sekalipun hanya degan 390-an halaman Trough The Ever Night gagal membawa sensasi dan plotingan cerita menarik seperti buku pertama Under The Never Sky.
Sinopsis
Under The Never Sky melanjutkan kisah dimana Aria sudah ditendang dari pod dan Perry harus melanjutkan untuk memimpin sukunya. Belum lagi hubungan asmara mereka yang rada-rada renggang setelah Perry mengira Aria mengkhianatinya dan keadaan diperparah saat keponakan Perry diculik olah orang-orang dari pod. Saat melarikan diri dari pod, Aria berhasil mendapatkan informasi bahwa masih ada daerah yang bersih dari badai aether. Dari sinilah keduanya bahu membahu membantu untuk mendapatkan letak lokasi dari wilayah yang disebut still blue.
Dalam pencarian still blue keduanya menemukan banyak hal, mulai dari kenyataan bahwa Aria nggak sepenuhnya penghuni pod dan mempunyai darah tikos mondok dan kemampuan sebagai audile sementara Perry harus bertarung dengan kakanya dan akhirnya harus memimpin suku. Kedua sepakat untuk berpisah dan mengambil jalan masing-masing dalam mencari informasi mengenai letak still blue sekaligus menyelamatkan keponakan Perry.
Resensi
Buku pertama Under The Never Sky terlihat amat murahan sementara Trough The Ever Night, terlihat mewah sekali dengan cover ciamik, mungkin karena Under The Never Sky jadi best seller. Sementara untuk plotingan yang mempunyai benang merah mencari still blue, Trough The Ever Night termasuk membosankan! Banyak banget sempilan cerita yang kerasa dipaksakan masuk, pencarian letak still blue, jadi nggak fokus karena ternyata pencarian lokasi still blue cuma seiprit saja, sisanya 90% adalah kerusuhan nggak jelas dalam mencari informasi letal still blue.
Saya juga merasa novel young dystopia ini seperti nggak kearah sama sekali, mau kemana sama sekali nggak jelas. Kita bakal diajak muter-muter cuma demi secuil informasi tentang lokasi still blue? Dan hampir nggak ada plot twist karena semua yang biasa ada di novel young dystopia, muncul di Trough The Ever Night. Saya rasa Trough The Ever Night merupakan versi menjemukan dari Divergent sebab, banyak banget elemen Divergent di Trough The Ever Night.
Trough The Ever Night gagal memberikan rasa baru dan sama sekali nggak berhasil menarik saya untuk masuk ke dunia yang hancur karena badai aether. Padahal buku pertamanya Under The Never Sky termasuk ciamik.
Baca Juga : Resensi Under The Never Sky
Baca Juga : Resensi Under The Never Sky
Akhirnya sampai juga ke seri
terakhir Red Queen yakni War Storm buat penggemar seri dari Victoria Aveyard
ini pastinya udah nggak sabaran, termasuk saya yang udah kadung jadi fans berat
Mare Barrow. War Storm sendiri saya dapatkan di awal tahun 2019 ini namun
sayangnya, seri penutup Red Queen jauh dari pada harapan sebab, saya sudah
lumayan lelah untuk membaca War Storm setebal 792 halaman ini, pada saat menulis
ini baru sampai halaman 541. Jadi apa sih yang sebenarnya bikin War Storm jauh
dari pada harapan?
Sinopsis
Setelah Glass Sword yang memukau
Victoria Aveyard meneruskan petualangan Mare si gadis petir yang sudah
bersekutu pada kerajaan Norta milik Cal sementara Maven, bersekutu dengan Iris
putri kerajan Lakelands dari klan cygnet. Sepanjang cerita kita bakal
disuguhkan intrik politik dari kedua kerajaan dalam memperebutkan wilayah dan
saling menjatuhkan, disertai peperangan kecil yang saya sendiri nggak bisa
ingat ada berapa.
Review
Sama seperti Glass Sword pada
seri terakhir War Storm ini kita masih disuguhkan POV dari banyak karakter bahkan Maven yang di Glass Sword nggak ada, muncul di
sini. Nggak seperti seri kedua, di War Storm cerita yang diangkat dari berbagai tokoh ini justru jadi boomerang yang
membosankan, saya sampai lelah baca Iris
yang menurut saya nggak terlalu penting dan seru, terlebih karakter Iris
sendiri tergolong biasa.
Sudah begitu, berbagai peperangan
kecil yang kerap kali muncul juga lumayan menjemukan, sebab nggak terlalu seru,
lebih baik dua atau tiga peperangan saja tapi memukau dan heboh dari pada ini
bertaburan namun garing bahkan, dalam peperangan tokoh utama dan darah baru,
nggak terlalu ditonjolkan. Kemampuan Mare dan para darah baru sama sekali nggak
terlibat dalam aksi yang seru.
Bayangkan dalam 500 halaman kita
disuguhin intrik politik, yang rata-rata dari kerajaan Lakelands yang mana saya
sama sekali nggak tertarik tuh, apa lagi Lakelands sama princess si Iris
tergolong datar dan membosankan. Saya lebih berharap sama Maven yang sayangnya cuma secuil saja di War
Storm ini tapi, kita jadi bisa tahu isi pikiran si raja muda yang otaknya sudah
dirusak sama emaknya.
Mare juga nggak seseru Glass Sword maupun King
Cage karena di War Storm si Gadis Petir udah nggak hidup susah lagi, jadi Mare
lebih banyak ceritain soal hubungan sama Cal tapi, saya sama sekali nggak
keberatan dari pada baca Iris yang
garing banget.
Kesan mengulur-ngulur pun, kerasa
banget di War Storm ini, sepertinya Victoria Aveyard sengaja dengan niatan melebihi
500 halaman dari King Cage. Kesannya kita seperti diseret-seret baca War Storm,
bayangkan beli dari awal tahun sampai bulan ini belum kelar juga, biar pun saya
paksain paling cuma dua bab, terus nyerah karena bosan. Jauh beda dengan Glass
Sword dan King Cage yang ngebut banget, saking penasaran sama plot twist dan
nggak bisa ditebak perbabnya.
Sementara War Storm datar banget,
kejutan Maven yang diserahkan oleh Iris pun hambar karena, dari awal cerita sudah dijelaskan
dengan gamblang bakal tuker guling Maven dengan pembunuh ayahnya. Niat kata mau
detail, mungkin malahnya jadi nggak ada kejutan yang berarti sampai 500 halaman.
Buat saya, War Storm ini penutup yang gagal memenuhi ekspetasi dan dipaksakan
supaya terlihat lebih tebal dari seri pendahulunya. The magic is gone in War
Storm!
Hari gini siapa sih yang nggak
tahu wattpad, platform buat orang-orang yang gemar nulis dan mamerin karya
mereka. Platform ini memungkinkan sebuah cerita untuk bisa dibaca oleh ribuan bahkan
sampai jutaan orang. Makanya jangan heran kalau banyak banget penulis wannabe
yang masukin karyanya di wattpad, termasuk saya sekitar beberapa tahun lalu
mencoba platform ini namun, urung melanjutkan setelah membaca banyak sekali
cerita wattpad dari Indonesia. Bahkan sekarang saya jadi rada-rada anti dengan
semua novel dengan embel-embel ‘telah dibaca oleh jutaan orang di wattpad’ dan
punya prasangka negatif untuk para penulis wattpad. Kok bisa begitu? Ini tiga
alasan kenapa saja jadi rada-rada anti dengan novel dari penulis dari wattpad.
1. Kaum Bocil Yang Menulis Semau Gue.
Seperti platform teknologi
lainnya, wattpad didominasi oleh kaum millennial dan parahnya hampir 80% adalah
abg menengah ke bawah. Kaum millennial di luar SES A dan B ini awalnya
menggempur wattpad dengan beberapa
cerita fandom nggak jelas, yang mana aneh buat orang seumuran saya. Selang
beberapa tahun trend cerita fandom berubah, menjadi cerita romance yang ditulis
“semau gue” contohnya adalah Dear Nathan dan Perfect Husband. Artinya, banyak
banget cerita romance wattpad ini yang secara plotingan, logika, tehnik
penokohan sampai penulisan amburadul.
Terus kenapa cerita di wattpad
bisa dibaca sampai ribuan bahkan jutaan orang? Karena waitpad cuma modal kuota, nggak perlu beli dan tipikal pembaca di
wattpad nggak sama seperti mainstream buku novel (jauh beda). Maka dari itu,
jangan heran ketika Dear Nathan dan Perfect Husband yang sampai jutaan kali
dibaca dalam platform wattpad, langsung banjir cacian ketika direlease novel fisiknya.
Tadi saya bilang abg menengah ke
bawah 80% sementara sisanya, adalah orang dewasa dan jangan salah. Om-om gendut
bermuka mesum pun banyak yang menyamar di wattpad, melampiaskan fantasi mereka
dengan membuat cerita romance. Saya tahu ini karena pernah datang ke sebuah
event, dimana para penulis wattpad diundang dan rada shock, begitu lihat yang
nulis cerita ini adalah om-om berperut buncit. (Never eva thrust the internet
guys)
2.Banyak Tukang
Jiplak
Ini juga penyakit penulis
wattpad, mungkin buat banyak pembaca wattpad nggak sadar kalau banyak banget
cerita yang populer di wattpad adalah jiplakan. Bahkan ada yang sampai dinovelkan
loh tapi, saya nggak mau sebut judul. Mereka pikir karena yang baca umumnya abg
dan pakai akun anonim, nggak bakal ketauan. Ngejiplaknya juga parah banget, cuma
ganti nama sama setingan tempat dan gaya bahasa yang disesuaikan. Mostly yang
mereka jiplak ada novel-novel penulis luar dan novel teenlit yang nggak
booming, lebih parahnya lagi, ada juga yang plagiat sesama penulis wattpad! Pokoknya
kacau dah.
Kalau ditanya seberapa sering
saya menemukan cerita plagiat atau jiplakan, jawabnya sering banget dah! Itu
wattpad indo banyak banget yang cuma nyadur aja. Mereka pikir karena di internet nggak bakal
ditangkap, padahal plagiat itu sudah masuk ranah hukum loh dan mereka bisa
ditangkap pihak berwajib.
3.Penulis Wattpad
Nggak Pernah Belajar
Yep, banyak penulis wattpad yang
sukses dinovelkan mengulang kesalahan yang sama ketika kembali mengeluarkan
karya, masa sudah novel kedua bahkan sampai novel ketiga, masih juga tehnik
penulisannya hancur lebur? Saya sih masih mencoba untuk berpikir positif, kalau
mereka ini nggak dilatih dengan baik oleh publisher mereka. Sekadar hanya
dimanfaatkan, selagi masih punya nama dan follower. Padahal kalau mereka terus
mengeluarkan karya seperti itu, sudah pasti ditinggalkan oleh pembaca
mainstream dan kembali ke wattpad.
Kita bisa lihat dengan jelas di
review di goodreads, mulai dari novel pertama sampai novel ketiga, banyak
sekali penulis wattpad yang terus mendapatkan kritikan ketimbang pujian. Ini
sebenarnya hanya tinggal menunggu waktu saja sampai, nama mereka tenggelam
dengan sendirinya. Lama kelamaan public akan jengah dengan karya amburadul
mereka.
Sebagai penulis, harusnya bisa up scale kemampuan jangan melulu menulis tanpa logika dan tehnik penokohan ploting yang amburadul. Kenapa begitu? Sebab, banyak penulis wattpad yang gak tahu diri, merasa telah dibaca jutaan dan bukunya dibeli oleh fansnya berlagak seperti penulis sejati bak Tere Liye atau Dea Lestari maupun novelis mainstreams best seller lainnya.
Gak tahu diri
Padahal secara kualitas karya saja jauh beda tapi, sudah berani belagu? Kalau disandingkan review Goodreads penulis wattpad dengan novelis mainstreams best seller bagai langit dan bumi! sampai sini mengertikan? Saya gak perlu sebut penulis wattpad yang gak tahu diri dan menganggap selevel dengan novelis terbaik Indonesia. Sampai-sampai ketika ada event dengan novelis mainstreams best seller, kelakuan bocil penulis wattpad geng anak sekolah yang dijadikan series ini, benar-benar di luar nalar. Harusnya sungkem dan belajar nulis yang bener sama senior, malah belaga selevel! Miris gak sih?
Gak belajar KKBI
Selain bocil dableq gak tahu diri, ada sebuah kisah seorang bocil penulis wattpad yang diundang ke sebuah event dan ditanya, perihal EYD dan tata cara penulisan yang baik dan benar karena, novelnya amburadul. Jawaban si penulis bocil kurang ajar adalah, "Saya emang gak suka baca KKBI atau apapun itu." Demi apa! Mau jadi penulis tapi, gak mau belajar EYD dan KBBI! Ada novelis yang sampai bilang begitu di depan umum! Sumpah pengen salto saja.
Gila gak sih? Baru nulis di wattpad aja sudah sebelagu itu! Astaga naga, malu dengan novelis beneran lainnya yang punya kualitas. Dalam dunia penulisan sendiri bocah-bocah ini sebenarnya gak pernah dianggap cuma dijadikan mesin duit saja. Andai kalian tahu bagaimana kelakuan bocil-bocil nolep gak tahu diri ini, pasti seperti saya yang ingin merobek buku KKBI terus disumpal ke mulut mereka.
Contoh Yang Baik Dari
Wattpad
Saya ambil contoh Valerie Patkar
yang dipinang oleh Gramedia, dari semua novel wattpad menurut saya hanya Claires dari Valerie Patkar yang secara tehnik penulisan layak untuk terbit. Bukan
tanpa alasan sebab, Gramedia nggak seperti publisher lain, yang cuma ambil
mentah naskah dari wattpad. Gramedia merombak Claires sedemikian rupa agar worth
to read bagi pembaca mainstream.
Baca Juga : Penulis Wattpad Mati Kutu Saat Webinar
Selain itu, nampaknya Valerie
Patkar pun banyak dapat gemblengan dari Gramedia sebab karya keduanya
Nonversation, punya kualitas yang lebih baik dari Claire. Sementara penulis
wattpad lain Cuma covernya saja yang bagus, dengan gambar cowok selebgram
ganteng yang diubah jadi kartun.
Oh iya, ngomongin soal cover para
penulis wattpad ini, kenapa banyak banget dah selebgram yang dibajak buat
dijadiin cover?
Malas Baca Novel Dari
Penulis Wattpad
Jadi itu 3 hal, yang bikin saya
males banget baca novel dari penulis wattpad. Apa lagi kalau di covernya udah
ada embel-embel ‘telah dibaca berjuta-juta’ belum lagi novel dari penulis
wattpad ini, harga lebih tinggi ketimbang novel dari penulis yang sudah lama
malang melintang bahkan, sekarang banyak yang pakai sistem preorder tanpa
melewati toko buku. Parahnya lagi ketika dilabeli best seller, saya nggak bisa
track kualitas novel dari penulis wattpad ini sebab, nggak ada rating
goodreadsnya? Sekali lagi, saya mencoba berpikir positif, kalau para pembaca
novel dari penulis wattpad ini adalah fans mereka di wattpad bukan, pembaca
mainstream yang sudah pasti punya akun goodeads dan nggak sabar buat kasih
ratings ama review di goodreads.
Wattpad Block Semua Negatif Keyword
Hampir saja saya lupa, kalau wattpad ini punya tim digital marketing yang ok banget, karena mereka bisa memblock google dari banyak kata negatif. Kalau kalian cari cerita wattpad jelek atau cerita wattpad sampah, niscaya nggak bakal nemu sebab, memang mereka jelas sekali memblock semua negatif keyword bahkan pencarian dengan keyoword cerita wattpad plagiat yang muncul paling atas malah cerita wattpad yang memang judulnya plagiat sementara, semua berita dan tulisan mengenai plagiat digeser ke page 2 atau 3 google.
Sekalipun Wattpad banyak negatifnya tapi, harus diakui bagi penulis amatir Wattpad adalah platform promosi yang jitu bahkan, banyak publisher yang menjadikan Wattpad sebagai test market. Maksudnya banyak penulis yang disuruh untuk menjajal naskah mereka di Wattpad. Hal inilah yang membuat saya sendiri malah punya Wattpad karena, memang disuruh oleh publisher untuk test market di situ. Jadi memang gak melulu karya Wattpad amburadul, walaupun sebagian besar memang begitu dan terbukti saat sudah launching lalu di review oleh rakyat Goodreads.
Lantas bagaimana melihat karya Wattpad yang bagus? Simpel saja kalau sudah launching bukunya silahkan melipir ke Goodreads karena, rakyat Goodreads tidak akan pernah berbohong dalam memberikan bintang review. Sekalipun, penulis Wattpad memerintahkan fans untuk nulis review di Goodreads. Kita bisa dengan mudah melihat mana review asli dari avid readers dan bukan, tinggal cek profilenya saja.
Akhirnya saya baca lagi novel dari wattpad, padahal sudah kapok semenjak Dear Nathan dan Perfect Husband dengan kualitas yassalam aburadul banget! Tapi berhubung Claires dari Valeire Patkar ini berasal dari penerbit Gramedia, maka nggak ada salahnya mencoba, sebab penerbit dari Gramedia mana mungkin berani keluarin buku dengan naskah mentah dari wattpad seperti Dear Nathan dan Perfect Husband. Saya memang nggak berharap banyak dari Claire seperti cerita-cerita wattpad lainnya namun, yang pasti dibawah Gramedia Claires jadi lebih baik ketimbang cerita dari wattpad lainnya.
Sinopis
Ceritanya, ada cewek bernama Claires yang pacar super sempurnanya seorang pembalap Kai harus terbang ke Austria untuk balapan or whatever dan akhirnya Claires harus magabut di pulau dewata, sebab Kai udah nggak bisa ajak ngedate lagi di tempat-tempat super mewah dan hype. Suatu hari Claires yang seorang perempuan baik-baik diajak clubbing dan iphonenya ketinggalan. Sialnya, itu iphone ditemukan sama Dilan 1990 eh salah, tapi sama Ares, seorang playboy kelas kakap di Bali. Iphone Claire yang nggak di lock (haree ginee) dikepoin getuh dah, jadi si Ares sehingga ia tahu betul tentang Claire.
Singkat cerita, mulailah Ares mendekati Claires dengan jurus Dilan 1990. Awalnya Claire menganggap Dilan eh salah, tapi Ares adalah cowok brengsek dan aneh. Tapi lama kelamaan malah jadi demen, parahnya si Ares yang niat awalnya cuma mainin Claire malah jatuh cinta beneran getuh. Selanjutnya mulai dah dilema Claires, antara Anyer dan Jakarta, sorry maksudnya Kai dan Ares.
Review
Dugaan saya kalau Gramedia nggak mungkin asal nerbitin cerita dari wattpad bener adanya sebab, Claires begitu apik dan rapi, dari segi cerita sampai penokohan. Saya sama sekali nggak nemu hamparan plot hole yang biasanya bertebaran pada cerita dari wattpad. Aslinya editor Gramedia memang sudah susah payah, mengubah style cerita Claires ini dari cerita aslinya.
dari penokohan dan storyline nggak ada yang bisa dibanggakan, malah kalau kalian sobat missqueen baca Claires yang ada nangis darah sampai opname. Baca Kai yang super tajir ampe sehari-hari pake Porsche terus teman-teman Claire yang punya club ama Bentley, bacanya di dalam kostan yang nunggak tiga bulan, pengen nangis dah bacanya. Emang sih setingan di Bali tapi kenapa serasa kek di California getuh dah. Semua orang yang nongol di Claires nampak sempurna, jadi pengen masuk inner circlenya si Claires walaupun cuma bisa bawain tas atau cuci ban mobilnya, yang penting diajak begaul ke tempat-tempat happening dan tak terjangkau sobat missqueen.
Claires juga nampak bersusah payah untuk kelihatan puitis dengan berbagai paragraf poem wannabe yang bertebaran, keknya ini ditambahin pas editing sama editor Gramedia. Saya pun mayan garuk-garuk dengan penambahan paragraf kiasan ini karena, sebenarnya nggak perlu juga sih. Soalnya saya merasa nggak nyambung, dengan paragraf puitis kemudian langsung pindah paragraf ke percakapan modern? Buat saya Claires tertolong berkat storyline linear, bahasa kerenya lempeung pisan kek jalan tol, sampai-sampai konflik Claires pun nggak kerasa bahkan, saya nggak tahu itu konflik atau bukan? Imbasnya buku setebal 300an halaman ini jadi cepet selesai. Saya ibaratkan Claires adalah air putih, ngilangin haus tapi nggak kerasa apapun.
Terlepas dari kualitas tipikal novel wattpad, Claires adalah novel wattpad paling rapi dan terbaik. Tentunya berkat campur tangan editor Gramedia yang nggak nerbitin secara mentah naskah Claires seperti Dear Nathan dan Perfect Husband. Tapi, andai kata Claires adalah stand alone novel yang harus bersaing dengan ribuan naskah yang masuk ke penerbit Gramedia, tanpa dikenal terlebih dahulu lewat wattpad. Claires akan kalah telak bahkan ditolak.
Yang justru saya salut dari Claires adalah, kehebatan penerbit Gramedia yang mampu mengolah Claires dari kualitas wattpad sampai dengan kualitas worth to read bahkan, design novel Claires ini tergolong mewah, rada-rada estetika getuh dah.
Baca Juga : A LOve At First Sight Kok Mirip Critival Eleven?
Baca Juga : 3 Hal Penyebab Saya Malas Baca Novel Dari Wattpad
Baca Juga : 3 Hal Penyebab Saya Malas Baca Novel Dari Wattpad
Buat yang nggak sabar nunggu seri terakhir dari Red Queen yakni War Strom, bisa ngemil dulu novella dari Victoria Aveyard berjudul Cruel Crown. Cruel Crown sendiri merupakan novella atau novel pendek yang terdiri dari dua cerita yakni Queen Song dan Steel Scars dimana kedua merupakan prequel dari Red Queen.
Sebagai fan garis keras Red Queen tentunya saya nggak akan mensia-siakan Cruel Crown namun, sayang ekspetasi jauh dari pada realita sebab, baik Queen song maupun Stell Scars serasa hampa dan percuma saja, seolah kedua cerita ini hanya demi memenuhi ruang kosong sebelum War Strom terbit.
Queen Song yang menceritakan bagaimana Ibu Cal mati, karena dijejali otaknya oleh bisikan Elara Merandus. Tak habisnya bagai sebuah cerita sepintas yang sulit untuk diingat. Nggak ada intrik berkesan dan Coriane digambarkan sebagai pribadi yang lemah padahal memiliki kekuatan yang nggak kalah dari Elara, penggambaran Coriane pun sama sekali nggak menarik. Semua hal tentang Ibu Cal ini nggak ada yang nempel di otak, benar-benar menjemukan.
Steel Scars yang menceritakan bagaimana Farley dan Shades bertemu untuk pertama kali ini jauh lebih menarik dan harus saya akui, cerita Steel Scars menyelamatkan Cruel Crown dari satu bintang yang bakal saya kasih di goodreads dan google book. Senang betul bisa baca lagi tingkah sotoy Shades dibuku ini dan bagaimana ia memalsukan kematiannya, begitupun ending yang ternyata nyambung dengan buku pertama Red Queen.
Overall sulit untuk memberikan empat bintang maupun satu bintang, dilain pihak Queen Song benar-benar sampah sementara Steel Scars justru menarik. Amat disayangkan mengapa Victoria Aveyard tidak mengembangkan Cruel Crown dengan lebih serius, seperti Lord Of The Rings dengan The Hobbit ataupun Harry Potter dengan Fantastic Beast. Kalau mau jujur nggak dibaca juga nggak ngaruh kok sama seri Red Queen, nambah pengetahuan tentang Norta juga kaga, sejarah tentang keluarga Tiberias juga seiprit. Kalau ada duit lebih aja beli dan sebagai fan Red Queen dikasih remah kek gini yang ada kecewa berat.
Akhirnya saya sampai juga di buku ketiga seri Red Queen namun, kali ini nggak beli buku fisiknya tapi download di google book, biar bisa dibaca kapanpun juga. Nggak kuat dah kalau harus bawa-bawa King's Cage setebal 700 halaman ini dan benar saja perjalanan commuter line nggak terasa berkat fokus baca King's Cage rupanya Victoria Aveyard masih mampu menyihir saya lewat seri ketiga Red Queen ini walaupun, sejujurnya berharap King's Cage adalah seri terakhir supaya Red Queen seperti Lord Of The Rings yang cuma tiga seri terus langsung habis, sebab konflik peperangan Mare dan kaumnya ini akan terasa menjemukan kalau dipaksa sampai seperti Harry Potter.
Sinopsi
Sesuai judulnya King's Cage menceritakan dimana akhirnya Mare tertangkap oleh Maven dan selama berbulan-bulan berada di bawah kendali Maven. Mare dimanfaatkan Maven sebagai trophy dan alat politik untuk kekuasannya, Maven memutar balikan fakta sehingga banyak kaum darah baru yang ikut bergabung ke dalam kerajaan Norta sementara Mare nggak bisa berbuat banyak karena dikunci oleh batu hening yang mematikan kekuatannya.
Diam-diam Pasukan Merah mempunyai rencana sendiri bahkan, atas inisiatif sendiri, Cal mengirim penyusup ke istana Norta dan berbuntut pada tewasnya Nanny. Kerajaan Norta di bawah rezim Maven tidak solid, banyak klan yang tidak puas dan akhirnya berkoalisi untuk membuat pemberontakan, nyaris saja nyawa Maven hilang beruntung klan penyembuh memperbaiki lehernya yang tertembus peluru.
Dengan situasi yang tidak menentu Maven merubah rencana dan membawa Mare berkeliling, guna membuat aliansi baru dengan kerajaan lain dan memperoleh kepercayaan rakyat namun, Maven gagal mengantisipasi satu lagi pemberontakan dari klan magnetron dan berimbas pada bebasnya Mare kembali ke Pasukan Merah.
Resensi
Sekali lagi Victoria Aveyard harus diacungi jempol, kalau penulis lokal sibuk membuat tokoh maha sempurna dan nggak pernah berani menghancurkan tokohnya, Victoria Aveyard malah sebaliknya. King's Cage justru menjatuhkan Mare ketitik penghabisan dimana dia nggak bisa berbuat apa-apa, Mare tokoh yang kuat dan cerdik menjadi lemah dan bagai anjing yang diikat.
Beragam plot twist pun masih disuguhkan, kita nggak bakal bisa nebak apa yang bakal terjadi di halaman selanjutnya. Selain itu King's Cage nampaknya mengikuti trend dimana POV menggunakan tiga tokoh yakni Mare, Cameron dan Evageline. Terus terang POV Cameron yang paling garing dan membosankan sebab tokoh Cameron sendiri memang nggak semenarik Mare dan Evageline.
Karena judulnya King's Cage maka di buku ini diberikan pemahaman apa yang sebenarnya terjadi pada Maven, kenapa ini orang amburadul banget, sadistik tapi romantik, punya love hate relationship dengan Mare dan Kakanya Cal, rupanya Ibu Maven, Ratu Elara sang pembisik sudah mengobrak-abrik isi otak Maven supaya anaknya jadi raja yang sempurna namun, anehnya nggak ada POV dari Maven? Menurut saya ini kelemahan utama King's Cage andai saja POV hanya dari Maven dan Mare pasti lebih dasyat.
Sebenarnya nggak unsur terbarukan dalam King's Cage sebab, semuanya sudah pernah ada di Hunger Games ramuanya sama hanya rasanya yang beda. Plotingan dan penokohan Victoria Aveyard memang kuat dan jadi jurus utama kenapa nggak pernah bosan dengan series ini namun, inti cerita peperangan kaum merah dan perak sudah nggak bisa diperpanjang lagi, kecuali Victoria bisa kasih plot twist yang wow banget. Harapan King's Cage jadi penutup series Red Queen pupus sebab lagi-lagi Victoria memberikan ending yang tak menjawab dan kita disuruh nunggu setahun lagi untuk War Strom sementara itu, selagi menunggu masih bisa baca Red Queen novella Cruel Crown dan Queen Song, kalau di Lord Of The Rings semacam The Hobbit. Sialnya, baik Cruel Crown maupun Queen Song belum ada terjemahannya
Novel dystopia berjudul Under The Never Sky dari Veronica Rossi sebenarnya sudah lama ada di rak buku namun, entah kenapa malas sekali bacanya. Mungkin, karena sudah lumayan banyak novel dengan tema dystopia yang dibaca jadinya rada-rada jengah namun, awal tahun ini saya coba untuk membaca Under The Never Sky sebagai buku awal tahun dan nampaknya perkiraan kalau Under The Never Sky ini adalah hanya just another dystopia novel sirna karena Under The Never Sky ternyata mampu menghanyutkan saya dalam dystopia badai Aether.
Sinopsis
Under The Never Sky bersetting di dunia yang kacau setelah masa penyatuan, dimana langit selalu dihiasi oleh Aether semacam cuaca buruk yang mampu membunuh siapapun saat terjadi badai, listrik dan petir akan menyambar apapun yang ada di atas tanah. Cerita dibuka saat dua kelompok pemuda dari ras yang berbeda menyusup masuk ke dalam kawasan Ag-6, tiba-tiba Soren dari ras manusia yang mendiami Pod membuat kekacauan dan membakar kawasan Ag-6, dari sinilah masalah dimulai.
Aria gadis dari ras penghuni, kaum dimanusia yang menggunakan teknologi harus berhadapan dengan Perry dari ras orang liar, manusia yang hidup liar di luar Pod dan memiliki kekuatan mutasi panca indera (scire) keduanya ternyata terlibat masalah yang lebih besar setelah kekacauan di kawasan Ag-9. Aria dibuang tanpa sebab ke luar Pod sementara Perry kehilangan Talon keponakannya yang diculik oleh ras penghuni Pod. Satu-satunya jalan adalah dengan bekerja sama untuk menyelesaikan masalah ini, Aria ingin kembali ke Pod sementara Perry ingin keponakannya kembali. Berdua mereka menyusuri kawasan tak berpenghuni, berhadapan dengan berbagai rintangan termasuk suku kanibal dan Cinder serorang anak dengan kekuatan Aether. Satu-persatu jawaban atas semua masalah yang terjadi terkuat saat mereka mencoba kembali ke Pod dan mendapatkan Talon kembali.
Resensi
Terus terang awalnya sulit sekali untuk langsung jatuh cinta dengan Under The Never Sky, sebab di awal kita langsung disuguhi dengan berbagai teknologi seperti kawasan Ag-6, smarteye dan badai aether. Bahkan tiba-tiba Soren menggila tanpa sebab dan membakar kawasan Ag-6. Kita tidak diberi kesempatan untuk mengenal tokoh-tokohnya maupun dunia Under The Never Sky terlebih dahulu, seperti pada umumnya novel dystopia. Veronica Rossi justru memaksa kita untuk membaca dari bab ke bab untuk mendapatkan keterangan apa itu kawasan, smarteye dan lain-lain.
Namun, setelah beberapa bab saya malah susah untuk menutup Under The Never Sky. Setiap bab memberikan kejutan dan ketegangan, perpaduan teknologi dan kekuatan super dalam dunia Under The Never Sky memberikan fast pace, belum lagi Veronica Rossi cerdik dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga namun, dari perspektif Aria dan Perry. Jadi setiap bab berganti-ganti dari perspektif Aria dan Perry, hal ini membuat saya jadi tidak gampang lelah dalam membaca.
Jalinan konfliknya dalam buku pertama ini memang tidak serumit seri Red Queen malah, Under The Never Sky lebih mirip Divergent yang dimix dengan Red Queen. Beruntung Veronica Rossi membuat Under The Never Sky dengan plot cerita yang baik, mudah untuk diikuti tapi tetap memberikan kejutan di setiap babnya.
Baca Juga : Trough The Ever Night : Buku ke 2
Baca Juga : Resensi Maze Runner The Death Cure
Baca Juga : Resensi The Glass Sword
Pernah baca buku Winnie The Pooh? Pastinya sudah sering banget baca buku anak-anak ini, terlebih yang versi Disney tapi, tahukah kalian kalau buku Winnie The Pooh adalah sebuah novel anak-anak yang terbit 90 tahun lalu di Inggris Raya. Bukan sebuah buku anak balita dengan banyak gambar beruang lucu dengan minim kata-kata. Winnie The Pooh pertama kali dikenal sebagai novel pengantar tidur dari novelis A.A. Milne dengan ilustrasi asli dari E.H Shepard.
Sinopsis
Winnie The Pooh versi asli dari A.A Milne bercerita mengenai seorang ayah dengan anak lelaki yang mempunyai teman boneka teddy bear. Pada novel orisinil A.A Milne kita akan dibawa untuk mengetahui asal muasal si beruang lugu dan polos. Di mana sang ayah membuat cerita untuk anaknya yang bernama Cristopher Robin dengan sahabat teddy bearnya. Kita akan di bawa untuk menikmati sepuluh cerita mengenai beruang Pooh beserta teman-temannya di hundred acre wood. Pada buku pertama A.A Milne ini beruang Pooh hanya akan bersama beberapa temannya seperti Rabbit, Piglet, Eeyore, Kangga serta Roo dan Owl. Kesepuluh cerita ringan namun kocak ini, sebenarnya sudah pernah saya lihat di versi kartunnya namun, pada buku kedua yang berjudul The House at Pooh Corner sepuluh ceritanya fresh, belum pernah saya lihat di versi kartun.
Resensi
Gaya penulisan A.A Milne yang polos sekali, memang ditujukan sebagai pengantar tidur anak-anak. Tapi, yang saya suka A.A Milne sama sekali nggak membuat cerita mudah dan picisan seperti yang biasa kita temui di buku-buku cerita anak-anak. Alurnya mengalir seolah kita sedang bercerita sendiri pada anak kita, seperti halnya ayah Cristopher Robin bercerita padanya. Sementara sepuluh ceritanya seringkali bakal geleng-geleng kepala, membaca kelakuan si beruang Pooh yang lugu dan bodoh. Dilengkapi dengan ilustrasi asli dari E.H Shepard membuat dua buku Winnie The Pooh dan The House at Pooh Corner keluaran Noura ini layak dikoleksi, belum lagi hardcover.
Memang nggak salah kenapa Winnie The Pooh dari A.A Milne mampu bertahan selama 90 tahun sebagai cerita favorit anak-anak dari Inggris raya, keluguan dan kepolosan yang dihantarkan oleh beruang Pooh dijamin mampu menyihir anak-anak sebelum waktu tidur mereka. Buat saya Winnie The Pooh dan The House at Pooh Corner adalah koleksi cerita klasik yang berharga di rak buku.
Baca Juga : Resensi Mary Poppins : Ternyata Seorang Dewi Maha Kuat
Baca Juga : Resensi Five Kingdom
Baca Juga : Resensi Middle School : My Brother Big Fat Liar
Baca Juga : Resensi Five Kingdom
Baca Juga : Resensi Middle School : My Brother Big Fat Liar
Pernah baca novel dengan tema Korea? Tapi bukan novel Indonesia yang sok Korea. Novel asli dari penulis Korea. Novel dari penulis best seller Korea, Baek Young-Ok ini berjudul Style dan menceritakan kisah seorang penulis majalah fashion serta dilematis hidupnya saat di usia 30an. Style sendiri sebenarnya bagi saya cukup membingungkan karena, Style by Baek Young-Ok ini rada-rada nggak jelas mau jadi novel roman atau semacam Devil Wears Prada.
Sinopsis
Style menceritakan tokoh utama yang saya nggak bisa inget namanya, mendapatkan tugas untuk meliput seorang misterius bernama Doktot Restoran. Sepanjang mendapatkan tugas kita bakal disuguhi glimps gimana hidup di dalam majalah fashion dan situasi saat berusia 30 tahun masih single plus belum mapan. Sang tokoh utama yang sudah terbiasa mewawancarai orang, tiba-tiba mendapatkan kejutan saat bertugas menguak Doktor Restoran. Ia bertemu dengan Park Woo Jin. Seorang teman kencan yang meninggalkannya di cafe sekitar 7 tahun lalu.
Sinopsis
Style menceritakan tokoh utama yang saya nggak bisa inget namanya, mendapatkan tugas untuk meliput seorang misterius bernama Doktot Restoran. Sepanjang mendapatkan tugas kita bakal disuguhi glimps gimana hidup di dalam majalah fashion dan situasi saat berusia 30 tahun masih single plus belum mapan. Sang tokoh utama yang sudah terbiasa mewawancarai orang, tiba-tiba mendapatkan kejutan saat bertugas menguak Doktor Restoran. Ia bertemu dengan Park Woo Jin. Seorang teman kencan yang meninggalkannya di cafe sekitar 7 tahun lalu.
Dari sini si tokoh utama kembali berurusan dengan cowok yang pergi begitu saja saat mereka berkencan, belum lagi tugas untuk menguak misteri tentang Doktor Restoran, membuatnya harus bertemu banyak dengan Park Woo Jin. Dalam perjalanan meliput Doktor restoran, satu demi satu misteri mengenai kenapa Park Woo Jin tujuh tahun lalu meninggalkannya serta siapa Doktor Restoran mulai terkuak.
Resensi
Novel Style dari Baek Young-Ok ini benar-benar membuat bingung plotingan dan alur cerita nggak pernah konsisten. Di awal kita bakal disuguhi alur maju mundur yakni, ketika tokoh utama menghadapi sebuah masalah, kita bakal disuguhi flash back perihal penyebab masalah tersebut namun, di tengah dan sampai akhir alurnya menjadi linear.
Novel Style dari Baek Young-Ok ini benar-benar membuat bingung plotingan dan alur cerita nggak pernah konsisten. Di awal kita bakal disuguhi alur maju mundur yakni, ketika tokoh utama menghadapi sebuah masalah, kita bakal disuguhi flash back perihal penyebab masalah tersebut namun, di tengah dan sampai akhir alurnya menjadi linear.
Nama-nama Korea yang nggak familiar juga jadi masalah buat saya karena nggak bisa inget dengan semua nama-nama tokohnya. Sulit bagi otak saya untuk ingat semua nama Korea dan jadinya sering lost ini siapa dan itu siapa.
Premis Style pun ambigu banget, jadi mau roman atau Devil Wears Prada? Tujuan Style benar-benar nggak jelas. Apakah mau menceritakan si tokoh utama dengan hidup yang menyedihkan? Umur 30 masih single dan nyaris gendut plus masih bekerja sebagai penulis majalah atau mau menyelesaikan urusan cinta tujuh tahun lalu? Ending yang menguak siapa Doktor Restoran dan si tokoh utama yang naik jabatan, benar-benar nggak memorable. Plotnya menurut saya datar dan membingungkan, sama sekali nggak ada emosi. Memang banyak orang yang komplain bahwa ini gegara terjemahan yang gagal tapi entahlah, buat saya novel Style dari Baek Young-Ok ini susah untuk dinikmati.
Sebenarnya dari judulnya sudah menarik, lengkap dengan embel-embel best seller dan hal itulah yang membuat saya mencoba sebuah novel non fiksi berjudul When Breath Become Air sebuah memoar dari dokter bernama Paul Kalanithi. Buku yang tebalnya hanya 200-an halaman ini, menceritakan mengenai masa-masa terakhir dokter yang terkena kanker.
Sinopsis
Paul Kalanithi adalah seorang imigran dari India, dia berasal dari keluarga menengah ke bawah yang berjuang mendapatkan impian dan cita-cita kehidupan yang layak. Pada awalnya Paul tidak yakin untuk memilih kuliah dijurusan tulis menulis atau kedokteran namun, pada akhirnya ia memilih kuliah kedokteran. Kehidupan Paul bisa dibilang nyaris sempurna, karier yang gemilang membuatnya mendapatkan banyak beasiswa, bahkan menemukan jodohnya Lucy yang juga seorang dokter. Kesibukan sebagai dokter specialist membuat Paul dan Lucy tidak bisa menikmati kehidupan pernikahan mereka, bahkan Lucy sudah menganggap Paul sebasgai suami yang tak pernah ada di rumah.
Sampai suatu waktu, Paul kerap berkeringat di malam hari dan mengalami penurunan berat badan, sebagai dokter Paul mengetahui ada yang salah dengan tubuhnya, berbagai rekanan didatangi namun, tak ada yang sanggup menemukan penyakitnya sampai satu saat kanker yang mengerogoti tubuhnya berhasil dideteksi. Dari sini Paul mengubah perspektif hidupnya dan mencoba memperbaik semua hal yang terlewatkan, termasuk memperbaikin pernikahan dan kembali menggeluti dunia tulis menulis, dan buku When Breath Become Air adalah buku pertama dan satu-satunya yang Paul tulis.
Resensi
Resensi
When Breath Become Air menggunakan tiga perspektif orang, pada awal buku digunakan perspektif sahabat Paul, lalu pada tengah menggunakan perspektif Paul dan pada akhir Lucy sang istri yang menceritakan akhir perjalanan Paul.
When Breath Become Air menggunakan tiga perspektif orang, pada awal buku digunakan perspektif sahabat Paul, lalu pada tengah menggunakan perspektif Paul dan pada akhir Lucy sang istri yang menceritakan akhir perjalanan Paul.
Saya nggak bisa banyak komplain untuk plotingan atau karakter karena ini kisah nyata dan sebuah memoar pada hari-hari terakhir Paul. When Breath Become Air memang sekilas terlihat nanggung untuk sebuah memoar karena hanya 200-an halaman, kisah hidup Paul Kalanithi pun nggak digambarkan secara detail, hanya pada masa-masa yang menentukan kehidupan sekarang saja. Belum lagi kemampuan Paul untuk menulis buku sangat terbatas, di tengah keadaan fisiknya yang terus drop.
Lalu apakah When Breath Become Air bagus? Terus terang saya merasa amat bosan! Bahkan dengan hanya 200-an halaman When Breath Become Air ini terasa hampa, sama sekali nggak terasa. Mencoba menyentuh pembaca tapi hasilnya nihil, kok bisa? Salahkan penerjemahnya, menerjemahkan When Breath Become Air secara kaku dan ibarat surat resmi. Bahkan ketika Paul mengumpat pun, alih bahasanya kaku sekali. Sehingga sulit untuk bisa berempati pada Paul, karena saya seakan nggak baca tulisan langsung dari Paul. Anda coba download pdf versi englishnya, pasti akan mengerti maksud saya, kesalahan fatal membakukan buku ini dan bersusah payah mengalihkan gaya bahasa, ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar serta berfaedah. Dalam Memoar setiap orang punya gaya bicara tersendiri dan itu yang nggak ada dalam buku ini, terima kasih sudah membuat Paul Kalanithi mati hanya dengan 30 halaman pertama.
Tapi When Breath Become Air punya semua yang selera lokal butuhkan, tahukan selera lokal yang low dan mehe-mehe pasti demen cerita semacam ini. Dokter muda sukses, terus kena kanker pas mau modar, buru-buru bikin anak sama istrinya. Sudah lelah sama kisah-kisah inspirashit, yang demen surat kecil untuk Tuhan dan semua novel tukang remake Agnes Donovar pasti demen dah sama When Breath Become Air
Buku kedua dari seri Red Queen ini memang rada lama untuk saya baca habis, karena kebentur waktu, maklum sekarang Sabtu juga harus masuk kerja, sementara Glass Sword bukan buku ringan dengan tebal 500 halaman lebih, termasuk berat dan ribet untuk bisa dibaca dimana pun. Jadi saya cuma bisa baca pas hari Minggu saja, itupun kalau nggak terlalu capek dan mood, untungnya Glass Sword bukan buku picisan dan termasuk worth it untuk dituntaskan.
Sinopsis
Glass sword dibuka dengan perjalanan Maren dan Cal yang berhasil meloloskan diri dari istana, Maven dan Ratu Elara. Mereka mengembara mengikuti pasukan merah dan di sinilah dilema dimulai, antara pangeran yang terbuang, Mare dengan rencananya untuk menemukan semua darah baru, saling berbenturan. Namun, Mare beserta teman-temannya mempunyai rencana sendiri, mereka bersatu padu untuk bisa menemukan dan menyelamatkan semua darah baru.
Rencana ini tentunya harus cerdik dan lihai, sebab Maven pun mengetahui rencana Mare beserta Cal, imbasnya mereka harus saling adu cerdik dan cepat untuk menyelamatkan para darah baru, beruntung beberapa darah baru yang berhasil diselamatkan oleh Mare menjadi tenaga baru, ada Nanny seorang wanita tua yang bisa berubah bentuk, Nix yang kulitnya sekeras baja, Ava dengan otak jeniusnya lalu Gareth manusia yang bisa memanipulasi gravitasi, serta Ketha yang bisa meledakkan apapun.
Kesemua darah baru ini dilatih dan ditempa agar bisa menguasai kekuatan mereka, sampai suatu waktu Mare bertemu dengan Jon seorang penerawang yang memberitahu bahwa Maven menyandera semua darah baru dalam penjara di Corros, ini bukan sembarang penjara karena didesain sedemikian rupa dan dilengkapi dengan batu hening, para magnetron menjaga semua pintu dan klan penerawang memindai semua orang yang masuk.
Mare beserta Cal dan beberapa darah baru, menyerbu penjara di Corros. Kekacauan terjadi di sana-sini, Mare kehilangan logika dan membantai siapapun, bahkan sekalipun mereka sudah meminta ampun, tetap saja petir Mare menghanguskan mereka. Pada akhirnya Mare berhasil membebaskan 300 tawanan dan menggoreng ratu Elara sampai hangus. Namun, kesuksesannya harus ditebus mahal dengan tewasnya sang kakak Shade, tertusuk besi yang dilemparkan seorang magnetron.
Resensi
Glass sword mempunya plot yang jauh lebih tajam dan komplek dari pada Red Queen. Saya nggak bisa nebak jalan cerita Glass sword, karena begitu banyak plot dan sub plot antara Mare dan orang-orang di sekitarnya. Banyangkan Mare harus berurusan dengan cinta segi empat antara Cal, Kilron dan Maven! Edun, banyak banget. Belum lagi konflik batin Mare sendiri, perempuan 17 tahun yang harus menjadi leader kaumnya dan kaum merah. Mare sang pencopet dihadapkan bukan cuma satu,dua dan tiga permasalahan tapi bejibun! Sampai saya sendiri merasa kasihan pada tokoh utama ini, karena dilema dan konfliknya terlalu berat untuk seorang perempuan berusia 17 tahun.
Oleh karena itu Glass Sword jadi buku yang amat tokohsentris, seperti semua hal tertuju pada Mare semata dan tokoh-tokoh lainnya cuma sebatas lewat saja. Palingan yang bisa bersaing dengan keberadaan Mare hanyalah para pria dalam cinta segi empat. Kilron yang ternyata sudah dari kecil suka dengan Mare, Maven yang nggak bisa melupakan Mare dan terobsesi ingin memilikinya, Cal yang juga suka Mare namun, nggak berani bilang.
Satu hal yang saya kurang suka adalah pada flashback dipertengahan buku, Victoria Aveyard nampaknya nggak mau pembaca baru kebingungan, sehingga tokoh Mare banyak sekali melakukan flashback, sampai saya bosan membacanya, tapi buat yang langsung baca Glass Sword ini menolong sekali agar tidak tersesat dan bingung.
Di buku kedua ini pun saya merasa, banyak sekali elemen dari Hunger Games yang masuk. Mau nggak mau Mare malah berasa Katnis, sekalipun secara karakter jauh beda. Namun, keduanya menghadapi permasalahan yang sama. Secara karakter Mare lebih kompleks, tapi secara storyline Hunger Games dengan panemnya lebih rumit. Glass Sword tertolong karena berada dalam dunia fantasi dystopia, sehingga Victoria Aveyard nggak perlu capek-capek menerangkan dunia dalam buku ini, kenapa ada motor maupun pesawat. Sama halnya seperti kita baca Lord Of The Rings.
Dengan ending yang lagi-lagi wow dan nggak bisa ditebak, Glass Sword termasuk buku yang sukses melebihi seri pendahulunya. Nggak ada happy ending! Dengan begitu banyak sub plot, masih juga ada twisted plot. Belas kasihan terhadap para tokoh juga hampir nggak ada? Vitoria Aveyard nggak kasih ampun buat tokoh mana saja yang mati, belum lagi beberapa cerita gore, seperti orang di sula, bayi digorok. Bitch! Ini baru cerita seru. Saya harus acungi jempol buat Victoria Aveyard.
Lebih baik dari pendahulunya Red Queen |
Buat yang biasa baca macam Critical Eleven etc, selera lokal pasti bingung dan kesel untuk bisa mencerna Glass Sword. Udah otak mau meleduk karena plot nikung sana-sini, multi konflik pada tokoh utama yang nggak pernah ada di tokoh novel lokal. Kisah cinta yang rumit, nggak simpel kek di roman lokal, rasanya pengen mati aja baca buku ini, terus pindah cari buku lokal yang jauh lebih mudah dipahami. Belum lagi roman yang diharapkan mendayu-dayu di sini nihil sama sekali, hello! Kenapa nggak baca roman picisan, yang tokohnya keluar negeri aja? Ini juga yang bikin beberapa book blogger ada yang bilang, nggak ada twisted plot? I was like dafuq! Biasa baca roman picisan, yang keluar negeri terus tokoh dengan konflik dangkal, dengan ending bisa ditebak tapi romantis banget (romantis murahan selera mereka) Ini yang dimaksud plot twist buat para pembaca buku selera pasar lokal. (dibilang, dangkal marah? Tapi bacanya yang begituan terus..bleh)
BTW, buat yang baca versi Indonesia mungkin akan sedikit kecewa, karena ada perbedaan besar soal beberapa tokoh. Seperti Tokoh Farley yang jalan cerita dengan scarlet guard, justru dipotong? Juga ada beberapa jalan cerita yang dipersingkat untuk versi Indonesia, entah kenapa?
Baca Juga : Resensi Red Queen Novel Fantasi Sekelas Hunger Games Buku# 1
Baca juga : Resensi King Cage RedQueen Buku #3
Baca juga : Resensi War Storm Buku #4
Baca juga : Resensi King Cage RedQueen Buku #3
Baca juga : Resensi War Storm Buku #4
Satu lagi buku yang ngehits di belantika bookstagram dan nggak mungkin saya
lewatkan begitu saja. Tahu sendiri yang
namanya belantika bookstagram, nggak pernah gagal merekomendasikan buku-buku
bermutu, bukan cuma selera rakyat seperti cerita cinta mehe-mehe berseting luar
negeri. Kali ini sebuah buku fantasi roman berjudul Caraval mencuri perhatian
saya, awalnya rada ngeri karena ini cerita cinta tapi karena dibungkus dengan
fantasi, akhirnya saya memberanikan diri untuk membaca.
Sinopsis
Cerita bermula ketika Scarlett dari pulau Taklukan Trisda, menerima
undangan untuk datang ke Caraval setelah beberapa tahun mengirimi Legend surat,
mengenai betapa inginnya Scarlett bertemu Legend. Bukan tanpa alasan mengapa
Scarlett mengirimkan surat pada Legend, karena Scarlett dan adiknya Donatella
tumbuh dalam lingkungan abusive, dimana sang Ayah selalu menyiksa secara
fisik. Siapa sangka ketika Scarlett akan
menikah dengan Count, undangan untuk datang ke Caraval malah tiba di depan
hidungnya. Scarlett pun memutuskan untuk mengambil resiko datang ke Caraval,
dan pulang tepat sebelum pernikahan dengan Count.
Tapi nasib berkata lain, ketika akan berangkat ke Caraval, sang adik yang
sudah tiba terlebih dahulu ke Caraval menghilang dan Scarlett harus menghadapi
kenyataan bahwa permainan Caraval adalah tentang menemukan adiknya Donatella.
Maka dari itu petualangan Scarlett di pulau magis Caraval dimulai, dari
toko-toko yang menjual barang ajaib sampai dengan lampu-lampu yang hidup dan mati dengan
sendirinya, menemani petualangan Scarlett.
Dalam petualangannya ini Scarlett ditemani seorang pelaut bengal nan
tampan, bernama Julian, yang nanti akan menjadi dilema karena Scarlett bimbang
apakah harus mempercayai Julian atau tidak?
Lima buah petunjuk disediakan bagi Scarlett untuk dipecahkan dalam waktu
lima hari. Jika ia berhasil memenangkan permainan dan menemukan adiknya, maka
Scarlett berhak dikabulkan satu keinginan oleh Legend.
Resensi
Dari awal baca Caraval, saya sudah menduga kalau ini cerita yang setipe
dengan novel Lewis Carol yakni Alice In The Wonderland, dimana sang tokoh utama
terjebak di dunia antah berantah nan kelam.
Untuk saya pacing Caraval terasa lamban, apa lagi dengan gaya penulisan
prosa metafora. Dalam beberapa bagian Caraval terasa menjemukan, antara prosa
metafora bertemu dalam jalinan kisah cinta tipikal gadis naif dan pemuda
bengal. Untungnya novel ini cuma 400an halaman dan dibagi dalam lima babak
besar, sehingga nggak terasa panjang.
Yang membuat Caraval outstanding adalah plotingan yang jujur, sama sekali
nggak bisa saya tebak, Stephanie Garber patut diberi acungan jempol karena
mampu meramu plot cerita yang nggak standar, belum lagi gaya penulisan
menggunakan prosa metafora membuat Caraval setingkat di atas dari pada
novel-novel roman fantasi lain. Namun, imbas penggunaan prosa metafora ini
adalah, pada terjemahan Indonesia yang terasa aneh dan kaku, sebab prosa nggak
bisa asal diterjemahkan, ada banyak gaya bahasa yang nggak terasa ngalir dan
kadang saya harus baca dua kali supaya ngerti, belum lagi banyak metafora untuk
menggantikan kata sifat dan keterangan di Caraval.
Satu lagi yang membuat Caraval berhasil menghanyutkan pembacanya adalah,
karena tokoh utama Scarlett yang dibuat alim dan naif, sehingga terasa pas
untuk terjebak dalam sebuah pemainan. Andaikata Scarlett bukan perempuan alim
dan naif, maka kita nggak bakal disuguhkan dengan semua kejelimetan dan
kerumitan permainan Caraval, walaupun saya banyak kesalnya dengan tokoh
Scarlett ini, sudah jelas terjebak di dunia antah berantah masih juga sulit
percaya dan sok idealis, lucu, baik hati dan tidak sombong.
Walaupun ada beberapa bagian yang jelas menggambarkan Caraval adalah
tipikal novel roman, seperti cara Stephanie Garber menggambarkan Julian, alamak
sampai kulit dan ototnya diprosakan. Untungnya unsur magis dalam Caraval kuat
karena tanpa unsur Magis, cerita Caraval akan hampa dan nggak masuk akal. Ini
pula sebabnya Caraval nggak bersetting di dunia normal, melainkan di masa
Dinasti Elantine.
Overall, sekalipun sedikit menjemukan, karena kisah
cinta Scarlett dan Julian dalam balutan prosa metafora namun, plotingan cerita
yang outstanding, membuat Caraval layak dibaca dan bukan sekadar cerita roman
picisan yang endingnya mudah ketebak,
kalau nggak happy ending, ya sedih melebay. Caraval menawarkan kejutan yang
sama sekali nggak terduga.
Spoiler
Pada bagian ending ketika Legend memasukan surat ke saku Tella, tertulis bahwa Legend menagih apa yang dijanjikan Tella. Sebenarnya apa sih yang Donatella janjikan, sampai Legend mau membuat permainan sesuai keinginan Tella? Ternyata oh ternyata, jawabannya ada di seri kedua dan caraval ini adalah sebuah cerita trilogi, tadinya saya kira cuma satu seri saja.
Subscribe to:
Posts (Atom)