Suatu hari ayah mengeluh di depan saya karena repot mengurus sedekahan dan seserahan. Maksud hatinya agar saya mau membantu, tapi yang ada malah bingung? Untuk apa seserahan dan sedekahan tersebut? Terbilang beberapa hari yang lalu, Ayah menerima telepon dari anak bungsunya agar mempersiapkan sedekahan dan seserahan, betul sekali yang bersangkutan hanya menelpon saja meminta untuk disiapkan semua. Jadi yang repot grasak-grusuk tidak lain Ayah, sang pemilik hajat hanya datang ketika semua sudah jadi atau tepatnya hari H saja.  Begitulah kelakuan anak masa kini, cuma tahu beres saja.

Lalu saya berpikir untuk apa seserah dan sedekahan ini? Apa hubunganya dengan pernikahan? Sebab menurut saya kedua budaya ini sampah dan tidak berguna, satu-satu hal yang terlihat adalah habisnya uang untuk membeli perlengkapan seserahan dan sedekahan. Saya melakukan riset untuk mencari korelasi antara sedekahan dan seserahan dengan pernikahan, hasilnya kedua budaya ini hanya adat istiadat semata tanpa manfaat secuil pun.


Sedekahan Itu Apa Dan Buat Apa?

Sedekahan adalah dimana kita memanggil semua orang untuk berdoa bersama, dalam kasus ini berdoa untuk kelancaran pernikahan yang punya hajat. Lalu apakah semua orang yang datang secara sukarela ini benar-benar mendoakan? Jawabnya betul, karena mereka tahu jika datang bukan hanya berdoa saja, tapi ketika pulang mereka akan mendapat berkat berupa nasi kotak dan berbagai makanan lainnya. Jadi mereka datang bukan murni ingin mendoakan, namun karena lumayan dapat nasi kotak nan enak.

Seserahan Itu Apa Sih?

Setelah sedekah datanglah seserahan. Lalu seserahan itu apa? Berdasarkan riset, seserahan adalah budaya yang melambangkan, kalau nantinya calon pria akan bertanggung jawab atas hidup calon pengantin wanita. Bentuknya adalah dalam beragam parcel nan cantik menarik dan kalau bisa terlihat mahal. Aturanya nanti keluarga calon lelaki akan datang ke rumah calon perempuan bak rombongan sirkus, masing-masing membawa parcel dan berjalan berjajar menuju rumah calon pengantin. Tentunya calon pengantin pria berada di depan dengan rasa bangga, sementara  rombongan sirkusnya mengular di belakang. Untungnya saya menolak mentah-mentah untuk ikut rombongan sirkus ini dan hanya menatap dengan bingung dari kejauhan. 

Nanti calon pengantin lelaki akan menyerahkan parcel-parcel berisi barang-barang yang dirasa tidak begitu penting. Mulai dari sepatu, parfum sampai peralatan sholat bisa dengan bebas dimasukan dalam parcel seserahan. Pokoknya suka-suka kita saja, masukan bom dan power ranger pun tidak masalah. Dalam acara seserahan pun hanya basa-basi formal semacam perkenalan calon pengantin pria bernama anu mau menikahi calon pengantin wanita bernama anu.

Pernah Kepikiran Ini?
Dan pada masa itupun saya bingung. Kalau budaya ini melambangkan kesiapan calon pria yang akan bertanggung jawab terhadap hidup calon perempuan. Harusnya semua biaya murni dari calon pria, jika sebab seserahan dibiayai oleh sang orang tua, artinya si orang tua yang bertanggung jawab terhadap hidup calon pengantin perempuan. Logikanya di situ bukan?

Kegelapan lain yang menyelimuti saya adalah, sebegitu ribetkah hanya untuk acara basa-basi-busuk? Kenapa kita sekeluarga tidak makan malam bersama dan saling bertukar pikiran? Calon mertua bisa leluasa bertanya mengenai masa depan dan segala tetek bengek calon mantunya, belum lagi dengan diner bareng, maka kedua keluarga bisa lebih dekat. Dari pada membuat rombongan sirkus dengan beragam parcel tak berguna.

Rombongan sirkus siap beraksi, prestise kali ya diliatin semua orang begini?
Hanya karena sesuatu yang sedari dulu terbiasa dilakukan, lalu kita harus juga ikut-ikutan? Kalau seserahan mengharuskan kita mendaki bukit tujuh puncak dan mencari kembang tujuh rupa masih kudu melakukan juga? Lagi pula menurut Pak Ustadz seserahan itu tidak ada dalam agama, kata Pak Ustadz sih, "kalau agama sudah membuat sesimple mungkin, untuk apa kamu merepotkan diri sendiri? Toh, nggak dapet pahala lebih bikin seserahan."


Baca Juga : Ketika ABG Menikah
Baca Juga : Abg dan Realitas Setelah Menikah 
Baca Juga : Nikah Antara Prestise dan Kebodohan