Sebenarnya cerita ini udah lama banget beredar di lingkungan gue tapi nggak ada salahnya ditulis, sebab menurut gue sih seru banget cerita ini.  Apa lagi kalau dipikir-pikir dengan keadaan Indonesia saat ini sepertinya bisa jadi gambaran dan sedikit membuka mata, jadi mari kita mulai.


Ini adalah cerita yang sudah muter selama tiga generasi di lingkungan gue, sekitar awal tahun 80an atau pada tepatnya ketika orde baru mulai berkuasa. Berbagai kebijakan diterapkan oleh pemimpin orde baru yang kala itu amat sangat berkuasa, nah seperti  sekarang kita ketahui nggak semua kebijakan yang diterapkan saat itu berguna bagi negara. Saat itu ada seorang pengusaha Tionghoa (sebut saja Koh Aseng) yang berani melawan pemimpin ORBA dengan statementnya, yang mengemukakan bahwa kebijakan sang pemimpin ORBA ngaco dan hanya menguntungkan segelintir pihak.

Diluar dugaan, sang pemimpin ORBA geram dan memakai kekuasaannya untuk menekan Koh Aseng. Setiap Koh Aseng ingin membangun pabrik maka IMB dan segala perijinan pasti tidak akan disetujui, bahkan passport Koh Aseng berserta keluarga pun tidak bisa keluar, semua perijinan atas nama Koh Aseng dan keluarganya selalu gagal disetujui pemerintah setempat.

Hal ini membuat Koh Aseng pusing tujuh keliling, sampai akhirnya ia menyerah dan meminta maaf langsung sama pimpinan ORBA saat itu, namun naas maafnya tidak diterima. Koh Aseng tidak putus asa sampai puluhan tahun terus meminta maaf tapi tetap saja tidak diterima. Hingga pada awal tahun 90an, Koh Aseng yang pintar ini mampu melihat praktek jawanisasi yang sedang gencar-gencarnya dilancarkan pemimpin ORBA ke seluruh nusantara.

Jadi Koh Aseng membuat sebuah album foto, ia dan seluruh keluarganya dengan pose sungkem dan memakai baju jawa plus blangkon. Lalu foto tersebut dikirim langsung pada sang pimpinan ORBA, singkat cerita tidak lama setelah foto tersebut dilihat sang pimpinan ORBA. Permohonan maaf Koh Aseng pun diterima! Sontak hal ini membuat sedikit bingung namun juga lega Koh Aseng, kenapa dari dulu nggak ngeh sama jawanisasi ini.

Setelah namanya bersih dan tidak dibredel lagi, Koh Aseng yang cerdas memanfaatkan jawanisasi dengan mulai mengganti nama ia dan keluarga dengan nama berbau jawa, misalkan Sutjipto atau Hartono.  Biar ketika membuat perijinan KTP atau passport lancar jaya, ternyata taktik ini jitu. Karena semenjak namanya menjadi kejawa-jawaan, semua urusan perijinan langsung diapprove dari pada semenjak masih menggunakan nama tionghoa.

Sutjipto eh salah Koh Aseng tidak hanya berhenti dengan mengganti nama saja, ia sampai memanfaatkan jawanisasi ini dengan langsung membuat pabrik di tanah jawa, pakai alasan “memberikan sumbangsih ekonomi bagi orang-orang jawa di sekitarnya,” hasilnya pabrik bisa langsung berdiri tanpa ribet. Dari pada pusing membangun pabrik di luar jawa dengan perijinan segunung dan memakan waktu lama. Koh Aseng pun sengaja merekrut orang-orang jawa, untuk bagian dimana bisnisnya harus berurusan dengan pemerintah saat itu. Bisa ditebak semua bisnis Koh Aseng langsung lancar jaya!

Sekarang Koh Aseng sudah hidup enak dan menjadi salah satu orang terkaya di negeri ini, selain kerja keras, kerja cerdas memanfaatkan situasi juga mutlak. Untung Koh Aseng jeli melihat jawanisasi ini, hingga bisa nyaris santai dalam meraih kesuksesan tanpa ada persaingan bisnis yang berarti.

Kalau gue tanya  sama sana dan sini, apakah taktik memanfaatkan jawanisasi ini masih berlaku? Jawabanya adalah, “apa yang sudah dilakukan selama 32 tahun, nggak bisa dengan mudah hilang dalam semalam dan you lihat saja sekarang yang mimpin orang mana?”